WAYANG; Upaya Nenek Moyang Menggapai Kesadaran Rahsa Sejati

WAYANG

KARYA ASLI LELUHUR BANGSA

Sebagai Falsafah “Gumêlaring-Bawáná”

Wayang yang dikenal oleh masyarakat Jawa, memiliki beberapa jenis antara lain Wayang Kulit atau Wayang Purwa terbuat dari kulit kerbau, Wayang Klithik bentuknya pipih terbuat dari kayu, Wayang Golek terbuat dari bahan dasar kayu, kain dll, dan Wayang Orang bahan bakunya paling aneh, namun sungguh kenyataan, benar-benar terbuat dari manusia hidup-hidup L hii..!!

Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti “bayangan”. Ditinjau dari perspektif filosofi wayang dapat diartikan sebagai bayangan atau cerminan seluruh sifat-sifat yang ada dalam diri manusia, seperti sifat dur angkara murka, dan segala macam sifat kebaikan (positif). Wayang digunakan sebagai instrumen untuk memperagakan suatu cerita kehidupan manusia di jagad raya, serta gambaran khayangan, atau alam gaib. Dimainkan oleh seorang dalang yang dibantu oleh tim yang terdiri penyumping atau asisten dalang, niyaga atau orang-orang penabuh gamelan dan beberapa waranggana sebagai pelantun tembang. Dalang menjalankan fungsi sentral sebagai sutradara sekaligus pelaku utama jalannya pagelaran secara keseluruhan. Dalanglah yang memimpin semua kru-nya untuk “melebur” dalam alur lakon yang disajikan. Dalam adegan yang kecil-kecilpun dan spontanitas harus ada kekompakan di antara semua kru. Seorang dalang harus menguasai berbagai macam gending atau aransemen alat musik gamelan, dan syarat mutlak bagi seorang dalang menghayati masing-masing karakter dari semua tokoh dalam pewayangan. Desain lantai yang digunakan dalam pagelaran wayang berupa garis lurus, dan dalam memainkan wayang, dalang menghadap ke arah kelir (batang pohon pisang) yang digunakan untuk menancapkan wayang secara berjajar. Jajaran wayang di bagi dua secara berhadapan, ada di sebelah kanan dan sebelah kiri dalangnya. Jajaran wayang di sebelah kiri dalang merupakan kumpulan tokoh tokoh atau satria-satria pembela kebenaran dan kebajikan, sedangkan jajaran wayang sebelah kanan adalah tokoh-tokoh angkara murka. Mengapa para kesatria pembela kebenaran letaknya di sebelah kiri dalang, hal itu tidak lain karena cara menonton wayang yang benar adalah dari balik (belakang) layar. Yang ditonton bayangannya, akan lebih terasa sangat eksotis. Walaupun demikian ketentuan ini tidak mutlak. Untuk memperagakan berbagai dekorasi dan pergantian sub-lakon atau adegan biasanya dipakai simbol berupa gunungan. Gunungan merupakan wayang berbentuk besar di bawah, bagian atasnya meruncing seperti tumpeng. Di dalam gunungan terdapat berbagai macam gambar binatang, misalnya banteng, kera, ular, burung, yang berada dalam cabang-cabang pohon besar. Bahkan kadang tergambar wajah menyerupai topeng raksasa. Gunungan sebagai simbol dari wilayah, atau keadaan alam semesta beserta isinya. Pertunjukan wayang lazimnya dilakukan pada waktu malam hari, namun bisa juga dilakukan pada siang hari, bahkan sehari semalam. Lama pagelaran wayang untuk satu lakon cerita biasanya sekitar 7 sampai 8 jam. Dimulai dari jam 21.00 hingga subuh jam 05.00. Instrumen musik gamelan yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang secara lengkap terdiri dari dua kelompok rangkaian gamelan yakni pelog dan slendro. Namun bila ingin digunakan rangkaian gamelan yang sederhana digunakanlah jenis slendro saja. Selain waranggana atau beberapa vokalis putri yang mengiringi dalang, masih ada vokalis pria yang disebut penggerong atau wiraswara, yang terdiri empat hingga enam orang. Wiraswara bertugas mengiringi waranggana dengan suara koor terkadang sahut-sahutan. Wiraswara bisa disediakan khusus, atau bisa juga dirangkap oleh niyaga atau penabuh gamelan sekaligus menjadi penggerong.

Wirayat Gaib dalam Penentuan Lakon

Dalam menentukan lakon untuk pagelaran wayang, seorang dalang tidak bisa sekehendaknya sendiri dalam menentukan lakon apa yang akan dibawakannya. Ia ditentukan oleh beberapa faktor.

Di antaranya adalah sbb:

1. jenis wayang yang dipergunakan sebagai alat peragaan.

2. kepercayaan masyarakat sekitarnya.

3. keperluan diadakannya pertunjukan tersebut.

Khusus untuk acara-acara tertentu, terkadang seorang penanggap wayang minta supaya dalang agar mencarikan judul atau lakon sesuai wangsit yang ia terima. Wangsit akan diperoleh ki dalang bilamana telah dilakukan kegiatan “nayuh” atau maneges kepada Gusti Ingkang Akarya jagad akan jawaban suatu hal. Lakon yang didapat oleh seorang dalang melalui wangsit biasanya dianggap sebagai bentuk jawaban atau gambaran akan suatu hal. Dapat berupa gambaran deskripsi masa kini, maupun gambaran futuristis. Pada zaman dahulu hingga sebagian besar dalang masa kini, salah satu syarat untuk menjadi dalang diharuskan seseorang memiliki spiritualitas relatif tinggi. Bahkan sudah bukan rahasia lagi, masyarakat sering mengukur tingkat “kesaktian” (spiritualitas) seorang dalang bilamana ia sudah mampu membawakan lakon Brantayudha. Selain parameter itu, seorang dalang akan disegani bila ia mampu (kuat) melakukan pagelaran wayang untuk acara “ruwat bumi”. Biasanya dalang ruwat bumi dimiliki atau menjadi lengganan pihak kraton, sebut saja misalnya dalang pujaan Gus Dur dan langganan UGM, yakni Ki Timbul Cermamenggala dari Bantul Yogyakarta. Beliau sering disebut-sebut pula sebagai dalang kraton, karena pernah beberapa kali melakukan ruwatan bumi Yogya-Sala atas permintaan dari kraton Yogyakarta.

Jenis wayang akan mempengaruhi lakon yang bisa digelar. Seperangkat wayang purwa misalnya hanya dapat dipakai untuk memainkan ceritera-ceritera dari Mahabarata atau Ramayana. Wayang kulit tidak bisa di pakai untuk menampilkan babad Menak. Sebaliknya perangkat wayang golek tidak dapat digunakan untuk melakonkan Mahabarata, sebab para tokoh yang ada dalam jenis wayang tersebut sudah dibuat untuk pementasan lakon-lakon tertentu.

Terutama dalam masyarakat Jawa yang masih patuh pada tradisi dan adat istiadat peninggalan para leluhurnya, banyak dijumpai pantangan-pantangan atas suatu lakon tertentu untuk pertunjukan wayang. Misalnya beranggapan bahwa lakon Bharatayuda atau Brantayudha tabu untuk dipentaskan dalam upacara perayaan perkawinan. Atau seorang secara pribadi berani menanggap wayang dengan lakon Brantayudha, akan berat akibatnya di kemudian hari, bisa berupa keterpurukan ekonomi, kesehatan atau keselamatannya. Maka orang tidak berani melanggar pantangan ini, karena percaya bahwa keluarganya akan mengalami kesusahan di kemudian hari. Entah akan ada anggota keluarga yang meninggal, akan terjadi perceraian dalam keluarga tersebut, atau malapetaka lainnya. Di daerah-daerah pedesaan juga masih banyak kita jumpai upacara-upacara adat yang diselenggarakan dengan pertunjukan wayang. Untuk suatu acara tertentu, lakon wayang yang dipentaskan harus disesuaikan pula. Pada upacara bersih desa, yaitu selamatan sesudah panen, lakon yang harus dipertunjukkan misalnya Kondure Dewi Sri atau Pulangnya Dewi Sri, sedangkan untuk upacara ruwatan lakonnya adalah Bathara Kala.

Asal-usul Wayang

Mengenai asal mula timbulnya wayang di Indonesia, terdapat berbagai pendapat dari para ahli yang dapat digunakan sebagai pedoman. Menurut kitab sejarah Jawa Kuna di perpustakaan kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, pertunjukan wayang kulit asal mulanya menggunakan peralatan sederhana, namun pakem aslinya masih regeneratif hingga sekarang, yakni dengan menggunakan wayang berbahan kulit kerbau diukir dengan tatah, menggunakan kelir, blencong, kepyak, kotak dan lain sebagainya. Menurut ahli sejarah Kraton Yogyakarta yang dikenal waskita pula, kesenian wayang sudah dapat dipastikan berasal dan merupakan hasil karya bangsa nusantara, alias Indonesia asli di buat orang-orang di Jawa. Kesenian wayang ini mulai ada sejak jauh sebelum kebudayaan Hindu datang. Kesenian wayang kulit pada mulanya merupakan salah satu bentuk upacara keagamaan Jawa Kuna, atau upacara sakral yang berhubungan dengan sistem kepercayaan waktu itu, yakni untuk menuju “Gusti Murbeng Dumadi” (Tuhan pencipta alam semesta). Upacara wayang dilakukan di malam hari oleh seorang medium yang konon disebut saman atau dilakukan sendiri oleh kepala keluarga. Lakon yang digelar mengambil cerita-cerita dari leluhur atau nenek moyang. Upacara ini dimaksudkan untuk memanggil dan berkomunikasi dengan arwah nenek moyang. Tujuannya adalah memohon pertolongan (doa) dan restunya apabila keluarga itu akan memulai suatu hajat atau tugas, demikian pula bila telah selesai menjalankan tugas tertentu yang berat. Upacara pagelaran wayang diperkirakan timbul pada jaman Neolithikum, atau pada ± tahun 1500 Sebelum Masehi. Dalam perkembangannya, upacara ini kemudian dikerjakan oleh seorang seniman wayang yang sudah profesional, yakni Dalang.

Tradisi Wayang Sebagai Cagar Kearifan Lokal

Dalam kurun waktu yang cukup lama pertunjukan wayang kemudian terus berkembang setahap demi setahap. Namun tetap mempertahankan fungsi utamanya, yakni sebagai kegiatan berhubungan dengan sistim kepercayaan dan sistem pengajaran akan falsafah nenek moyang secara turun temurun. Untuk mempertahankan kesenian asli warisan nenek-moyang nusantara, kraton Mataram Yogyakarta telah memberikan tempat hidup yang subur bagi kesenian wayang terutama wayang purwa/kulit, sebagaimana tercermin dan didirikannya sekolah dalang Habirandá pada tahun 1925 di Kraton Mataram Yogyakarta. Kini para dalang lulusan sekolah Habirandá banyak tersebar di wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sementara itu, pusat kesenian wayang orang, tetap dilestarikan di lingkup Kraton Surakarta dan wilayah sekitarnya. Pertunjukan dilakukan di gedung-gedung kesenian, dalam pertunjukan di desa-desa, serta di media elektronik. Sebagai salah satu penggemar kesenian wayang kulit, hampir setiap malam antara jam 23.00 hingga jam 03.00 terkadang jam 04.00, siaran wayang kulit melalui berbagai radio di Yogyakarta selalu setia menemani kami dalam kegiatan “metani keyboard*. Dan kelompok punakawan, Ki Lurah Semar, Nala Gareng, Petruk Kanthong Bolong, Ki Lurah Bagong selalu saja menggugah jiwa-raga ini dari rasa “kantuk” fisik dan “kantuk” batin. Nuwun Gong, Truk, Reng, Mar..!

Menurut pengamat kebudayaan Dr. A Ciptoprawiro dalam tesisnya, wayang dianggap berfungsi sebagai pagelaran kesenian yang menyajikan banyak nilai sebagai tuntunan (moral etik) dan tontonan (nilai estetik) karena konsep etika dan estetika filsafat Jawa akan mewarnai di dalamnya. Etika berkaitan dengan persoalan apa yang baik dan apa yang buruk. Pertentangan antara yang baik dan yang buruk, harus dapat diatasi dengan peningkatan kesadaran yang akan membawa manusia kepada kesempurnaan. Maka dalam pentas pagelaran kesenian wayang memperlihatkan adanya proses menuju pendewasaan jiwa. Pertentangan dan konflik yang dibangun dalam pergelaran wayang menunjukkan pergulatan nilai, yang mengemukakan hukum sebab-akibat, kodrat alam, dan kodrat Tuhan. Demikian juga dengan estetika yang mempertanyakan tentang apa yang indah dan apa yang tidak indah. Keindahan dalam filsafat Jawa akan diukur dengan realitas tertinggi. Dalam wayang dituntut harus ada semangat, grengseng dan greget, yang semua itu merupakan proyeksi dari keindahan nilai realitas tertinggi.

1. Struktur Pergelaran

Dalam pola intuisi akan memperlihatkan suatu proses evolusi kesadaran akal-budi yang lahiriah, menuju kesadaran yang tertinggi (higher counsciousness). Proyeksi nampak pada struktur aransemen yang diwakili dengan rangkaian gamelan pada slendro patet 6, patet 9, dan patet manyura memberikan gambaran adanya proses ini. Patet 6 seyogyanya menceritakan tentang persoalan-persoalan yang timbul akibat keinginan, baik yang bersifat kebendaan ataupun spiritual, dalam tataran dimensi ketiga. Patet 9, menceritakan tentang proses seorang tokoh atau ksatria untuk mendapatkan kebenaran higher reality yang akan menjadi dasar atas tindakannya dalam menyelesaikan persoalan. Patet Manyuro, atas kedewasaan jiwa yang didapatkan berkat adanya pencerahan moral (dalam patet 9) maka seorang ksatria atau tokoh tersebut melakukan tindakan atas dasar tersebut dengan cara pandang dan pengetahuan yang baru. Sikap ini dibedakan dengan sikap dan cara pandang lama yang masih dalam tataran dimensi ke III dalam patet 6. (Dr. A Ciptoprawiro, dan dalam Kitab pakem Pewayangan, pustaka kraton Yogya)

2. Garap tokoh

Seorang dalang menampilkan tokoh atau guru yang mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi yang mempunyai pengetahuan simbolik mampu menjelaskan secara gamblang serta mengajarkannya kepada ksatria atau tokoh. Harus ada perbedaan sikap yang jelas dari ksatria dan tokoh, yang bisa ditunjukkan kepada penonton, sebelum dan sesudah mendapat pengajaran dari sang guru.

3. Garap Catur

Dalang dituntut mampu menunjukkan percakapan dialektis dalam melakonkan wayang, babak yang menampilkan dialog kritis, cerdik dan cerdas, yang bisa melahirkan pengetahuan sejati. (Kitab Pakem Pewayangan)

Dalang Legendaris dan Asalnya:

Ki Narto Sabdo asal Semarang Jateng

Ki Hadi Sugito asal Kulonprogo Yogya

Ki Gita Sewaya asal Blitar jatim

Ki Gondo Buwono asal Madiun

Ki Anom Suroto asal Solo jateng

Ki Panut Darmoko asal Nganjuk Jatim

Ki Manteb Sudarsono asal Karanganyar Solo

Ki Timbul Cermomenggolo asal Bantul Yogyakarta

Ki Murdi Kandhamurdiyat asal Tulungagung Jatim

Ki Pringga Darsono asal Sragen

Ki Rusman S Hadikusumo asal Semarang

Ki Sunaryo asal Surabaya

Ki Asep Sunandar S asal Bandung Jabar (wayang-

golek)

Masih banyak lagi para profesional Dalang dari wilayah Banyumas, serta dalang kontemporer. Di kenal Dalang Edan, Dalang Suket, Dalang Jemblung, dan yang lain-lainnya.

Peralatan Dalam Pagelaran Wayang

Blencong : Lampu minyak kelapa untuk menerangi layar.

Dalang : Orang yang menjalankan lakon wayang.

Kelir : Gedebok pisang digunakan untuk

menancapkan wayang.

Wayang : Sejenis boneka dua dimensi yang

digerakkan oleh dalang.

Gamelan : Alat musik tradisional Jawa untuk

mengiringi pementasan.

Niyaga : Orang yang menabuh gamelan.

Lakon : Jalan cerita atau judul.

Sabetan : Gerak gerik wayang yang dijalankan

Ki Dalang.

Beber : Layar untuk menangkap bayangan wayang

dalam ajang sabetan.

Waranggana : Tim vokalis tembang dalam

pentas wayang.

Panyumping : Asisten dalang yang bertugas membantu

menyiapkan ubo rampe dan membantu

mengurutkan wayang.

Kothak/Pethi : Kotak kayu untuk menyimpan wayang

yang belum dan sudah ditampilkan.

KEDALAMAN FILSAFAT BLENCONG

Dalam falsafah Jawa sebagaimana tersurat dalam Serat Gatholoco yang kontroversial itu, namun kenyataannya sarat akan falsafah kawruh kawaskithan. Isi di dalamnya salah satunya terdapat cangkriman (tebakan) antara si manusia buruk rupa bernama Gatholoco dengan para santri di pondok Cepekan. Gatholoco merupakan figur manusia yang tak bisa diukur hanya melalui apa yang tampak oleh mata wadag saja (jalma tan kena kinira). Biarpun secara fisik sangat buruk dan baunya tak enak, namun ia memiliki filsafat hidup sangat tinggi sekali. Setidaknya hal itu mengajarkan kepada kita, jangan sampai kita gegabah menilai orang lain semata-mata dari yang tampak oleh mata, dan apa yang bisa dibaca secara verbal.

Gatholoco Bertanya

Gatholoco nulyà ngucap, dalang wayang lawan kělir, lan baléncong ngěndi kang tuwà, badéněn cangkriman iki. Yèn sirà nyàtà wasis, městhi wěruh ingkang sěpuh, Ahmad Arif ambatang kělir kang tuwà pribadi, Abdul Jabar ambatang, Ki dalang kang tuwà déwé. Abdulmanap kanthi wicak ambatang, mênàwà tuwà déwé ora liyà wayangé.

Gatholoco kemudian berkata, dalang wayang dan kelir, serta blencong mana yang paling tua, tebaklah peribahasa ini. Bila kamu memang pandai pasti mengetahui mana yang paling tua sendiri. Ahmad Arif menebak, kelir yang paling tua sendiri, menurut Abdul Jabar yang paling tua adalah dalangnya. Abdul Manap lain lagi, menebak bila yang paling tua tidak lain adalah wayangnya. Namun bagi Gatholoco kesemua jawaban tersebut belumlah tepat.

Jawaban Versi Gatholoco :

Bila menurutku, blencong lah yang paling tua sendiri. Walaupun kelir sudah dipasang, gamelan sudah siap tertata, dalang duduk siap, namun bila panggungnya masih gelap tentunya belum bisa berjalan pementasan wayangnya. Penonton pun tak bisa melihat akan warna warni rupa wayang yang perpasang di sepanjang kelir. Bila blencong sudah dinyalakan, barulah tampak berjejer wayang menancap di sepanjang kelir. Di atas di bawah, di kiri dan di kanan, tampak Pandawa dan Kurawa berjajar saling berhadapan. Dalang di bawah blencong dapat memilih wayang-wayang yang akan dilakonkan. Dalang dapat menimbang besar kecilnya wayang, memilih dan memilah dalam masing-masing kelompok. Sifat dan watak wayang digolongkan sendiri-sendiri sesuai dengan karakternya, sesuai pula dalang mengucap intonasinya. Semua itu bisa berjalan karena lampu blencong telah menerangi jagad pakeliran, dalam pagelaran lakon wayang. Oleh karena itu blenconglah yang paling tua. Begitulah jawaban Si manusia buruk rupa Gatholoco.

Makna Di Balik Ucapan Gatholoco

Agar mengetahui maksud pemikiran Gatholoco, sebelumnya marilah kita sama-sama mengupas satu-persatu makna filsafat di balik peralatan dalam pentas wayang. Bunyi gamelan, wayang yang diiringi gamelan, dalang hanya sekedar mengucap, si wayang lah yang memiliki bunyi. Kurang lebih artinya, (seolah) semua patuh pada kehendak dalangnya, berkuasa atas semua wayang dan lakon, akan tetapi jangan terkecoh, Ki Dalang hanya sekedar melakonkan wayang, alias Ki dalang hanya sekedar mengikuti alur cerita yang telah ada sebelumnya.

Perintah orang yang menanggap pagelaran wayang, disebut Gatholoco sebagai Kyai Sepi, artinya sěpi tanpà ànà, ànàné ginělar yěkti, langgeng tan owah gingsir, tanpa kurang tanpa wuwuh, tanpà rèh tanpa guna, ingkang luwih masesani, ing solahe wayang ucape Ki dalang; sepi tanpa ada, adanya tidak lain sejatinya yang telah tergelar di alam semesta, tetap abadi, tiada berkurang tiada bertambah, tanpa sebab tanpa guna, yang lebih menguasai, ada pada tingkah Ki dalang dan ucapannya.

Yang pasti menjalani yang baik dan buruk, penonton dan yang nanggap wayang, yakni disebut Kyai Urip. Bila lampu blencong sudah mati, semuanya menjadi suwung awang uwung, tiada apapun, ibarat kita belum lahir ke bumi, batin kita suwung tiada apapun.

Baiklah supaya lebih mudah dipahami filsafat di alam pemikiran si buruk rupa Gatholoco mari kita bahas satu-persatu mengenai instrumen dalam pementasan wayang sbb;

Běběr

Disebut pula layar putih tanpa noda. Merupakan gambaran mercàpàdà atau bumi ini yang sesungguhnya merupakan tempat suci. Di manapun tempat, wilayah, daerah, negara, daratan semuanya adalah tempat suci. Jika ada tempat tidak suci, atau dianggap lembah hitam atau kotor, sesungguhnya hanyalah penilaian subyektif atau sekedar manusianya yang kotor, bukan bumi tempat mereka berpijak. Layar sebagai gambaran bumi, menjadi panggung pementasan “sandiwara kehidupan” wayang.

Kělir

Kělir adalah gěděbok (batang) pohon pisang. Jika tidak dipakai lagi untuk menancapkan wayang, maka kělir akan dibuang menjadi barang busuk berbau dan tak ada gunanya, lalu kembali menjadi tanah. Kělir ibarat raga atau jasad kita yang digunakan sebagai tempat bersemayamnya sukma kita. Jasad yang digunakan sebagai media sukma agar dapat berbuat sesuatu di dalam dimensi wadag měrcapada (bumi).

Wayang

Wayang mempunyai dua dimensi, jika ditonton dengan benar seharusnya dari balik layar pementasan. Yang yampak adalah siluet bayangan hitam si wayang. Wayang adalah jiwa, atau jiwànggà, jiwà ing ànggà yakni jiwa yang manjing di raga. Sedangkan bayangan wayang di balik běběr atau layar ibaratnya “guru sejati” atau sukma sějati.

Pěthi

Kotak kayu untuk menyimpan wayang yang belum dikeluarkan atau wayang yang sudah mati. Tokoh wayang yang sudah mati, pasti meninggalkan kelirnya dan dimasukkan oleh dalang ke dalam kotak pěthi. Pethi ibaratnya liang kuburan. Jika anda serem akan liang kuburan, karena belum memahami makna liang kubur. Liang kubur sesungguhnya pintu kecil, gelap, pengap dan sempit, namun menjadi “lorong” atau pintu masuk menuju ke alam gaib para leluhur yang terang benderang dan menakjubkan (bagi yang perbuatannya pada sesama baik, bagi yang tdk baik saya nggak tahu).

Dalang

Dalang adalah orang yang hanya sekedar menjalankan cerita-cerita (lakon) wayang yang telah ada sebelumnya. Meskipun demikian, dalang harus memahami betul pakem gamelan, karakter wayang, cengkok tembang, pribadi masing-masing waranggana dan wiyaga. Dalang menjadi pembawa cerita, sekaligus pemimpin atau komando bagi seluruh tim yang bersama-sama menjalankan pementasan “sandiwara kehidupan” wayang. Kekompakan terjadi bilamana para waranggana, wiyaga, dan asisten dalang memahami secara persis bagaimana jalan cerita lakon, menghayatinya serta bagaimana keinginan-keinginan Ki Dalang selama melakonkan wayang.

Dalang ibarat pemuka agama, tokoh masyarakat, koordinator paguyuban dan perkumpulan, sesepuh desa, pemuka adat, pemimpin spiritual, yang hanya sekedar menjalankan hukum kodrat Tuhan, hukum alam, nilai-nilai tradisi dan budaya yang telah ada sebelumnya untuk mendasari lakon kehidupan di mercapada, sejak bumi ini ada. Siapapun boleh dan bisa menjadi dalang. Tidak pandang derajat, pangkat, golongan. Maknanya, setiap orang boleh dan bisa menjadi ahli spiritual, pemuka adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dst. Setiap manusia berhak menjadi khalifah di mercapada. Tak perlu menunggu disuruh-suruh Tuhan. Syaratnya hanyalah, memahami akan nilai kesejatian kebenaran, memiliki banyak ilmu pengetahuannya, serta mampu mengendalikan diri agar menjadi manusia yang arif, berwibawa, bijaksana, adil dan paling penting adalah bersedia berbuat kebaikan pada sesama tanpa pandang apa sukunya, apa agamanya, apa budayanya, dari mana asalnya, siapa namanya, apa jabatannya. Dalang menjadi jalma manungsa kang hambeg utama, sadrema netepi titahing Gusti. Umpama manusia-manusia suci penegak keadilan dan kebenaran di muka bumi, yang hanya menetapkan segala tindakannya sesuai lakon dalam kodrat Hyang Widhi.

Blencong

Blencong merupakan lampu penerang letaknya di depan layar, di atas Ki dalang duduk bersila. Blencong menggunakan bahan bakar minyak kelapa, sehingga nyalanya relatif lama, apinya bersih, baunya juga harum dan gurih. Filsafat blencong umpama wahyu kehidupan, atau atmà sejati yang menghidupkan segala yang hidup, cahaya blencong umpama cahyà sejati. Blencong berasal dari Hyang Widhi yang tak tergambarkan dalam pagelaran wayang. Blencong asale sàkà wahananing Gusti Kang Murbeng Dumadi. Cahaya blencong adalah cahyà sejati, yang menerangi seluruh pagelaran wayang kulit, yakni meliputi seluruh jagad gumelar. Cahyà sejati, menyinari wayang (sukmà sejati), menyinari Ki Dalang dan kelir. Blencong dan sinarnya ibarat tejà lan cahyà. Yakni umpama Bethara Nurrada dan Bethàrà Teja (Antàgà). Càhyà sejati, cahaya kehidupan merambah ke dalam badan, di luar dan di dalam, di bawah dan di atas, berasal dari Yang Maha Hidup atma sejati, wujudnya berasal dari Hyang Mahamulya. Wujudnya menjadi Wujud Yang Maha Tunggal. Ora ànà PĂRĂ Màhà Tunggal kajàbà kang NYAWIJI Màhà Tunggal.

Gatholoco Pergi meninggalkan Pertanyaan :

..Yèn wayang mari tinanggap, wayangé kalawan kêlir sinimpên sajroning kothak, baléncong pisah lan kêlir, dalang pisah lan ringgit, marang êndi paranipun, sirnaning baléncong wayang, upayanên dèn kêpanggih, yèn tan wêruh sirà urip kàyà rêcà…

Bilamana pertunjukan wayang telah usai,

wayang dan kelir disimpan dalam kotak,

blencong terpisah dengan kelir,

dalang terpisah dengan wayang,

di manakah tujuannya,

hilangnya blencong wayang,

carilah sampai ketemu,

bila tak mengerti

kamu ibarat hidup seperti arca.

Bénjang yèn sirà palastrà, uripmu ànà ing ngêndi, saikine sirà gêsang, patimu ànà ing ngêndi, uripmu bakal mati, pati nggàwà urip iku, ing ngêndi kuburirà, sirà gàwà wira-wiri, tuduhênà dunungé panggonanirà…..

Besok bila kamu mati,

hidupmu ada di mana,

sekarang ini kamu hidup,

kematianmu ada di mana,

hidupmu bakal mati,

kematian membawa kehidupan,

di mana kuburanmu,

kamu bawa kesana-kemari,

tunjukkan di manakah tempatmu.

Apa jawabannya…?

Namun hati-hatilah menjawab, karena pertanyaan Gatholoco tersebut merupakan pertanyaan mengandung dua dimensi yakni lahir dan batin. Jasad dan spirit (roh), artinya bukan sekedar pertanyaan lugas, namun lebih cenderung kiasan. Misalnya: …besok bila kamu mati. Maksudnya yang mati adalah NAFSU. Mangga, marilah kita bahas bersama…


About SABDå

gentleman, Indonesia Raya

Posted on Februari 27, 2009, in WAYANG; Upaya Nenek Moyang Menggapai Kesadaran Rahsa Sejati and tagged , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink. 30 Komentar.

  1. Sugeng Rahayu Mas Sabdalangit

    Kok tumben sepi yaaaaa….
    Mas sy barusan bolak balik baca di paragraf 2 sptnya ada yg “gejlok”
    Jajaran wayangnya kok kiri semua? apa sy aja yg kurang “dong”ya….
    ==========================================
    Biasa sabtu minggu baru pada weekend mungkin Mas…
    Kumaha daramang sadayana ??
    Wah hatur nuhun pisan tos dipasehan koreksi, eta mah kenca nu leres ge kanan.
    sdh sy betulkan Mas, nuhun pisan nya’.

  2. Sami sami Mas ngan nembe tiasa ngemutan heungkul
    Puji syukur kahateurkeun ka Gusti Nu Maha Kawasa, Mugi sami ngalangkungan ka Mas Sabdalangit sakalawarga
    Eh…..Muhun nya week end, pates wae dijalan teh seur mobil motor.

    Hatur Nuhun Pisan Mas
    ========================
    Nya’ angger we malem minggu geningan,
    ari di bandung mah ampun macetna’ ti jkt asup sadayana ka bandung
    Kang Sumego tinggalna dimana, cikutra atanapi di bubat?

  3. Hahaha….Tiasa we iyeu “Sepuh” ngimplengna mah, by SQ or IQ yeuh?
    Rorompok abdi mah di gang caket ti Cikutra…. cing di impleng deui Maas dimana persisna..hihi.

    Sumuhun kitu mas ari sabtu minggu mah meni seur pisan mobil ti Jakarta..
    Kahoyong mah aya…kongkow2 kos kapungkur ngan rada reghreugh bilih “baong” deui.
    ============================================
    …. moal diimpleng, eta mah kaleresan we … 🙂
    ayeuna mah abdi tos sieun… , Kang Sumego nyumput kamana ieu… gelaap..hehe
    moal aya nanaonan, abdi teh resep pami kang Sumego seuseurian nyarira…
    salam kanggo Kang Boed Nya’ engke pami hoyong ka bandung abdi email heula, supados tiasa papanggihan jeung sadaya dulur di bandung.

    Jd jauh pisan nya ka na Topik geningan….

  4. Di antos kasumpinganana Mas, Engke dipasihan C.P ka Email

  5. Andai aku bisa bahasa sunda asyik juga…bisa paham wayang goleknya mang Asep S. (Juga paham obrolan diatas maksudnya…) 😉
    Kebetulan kakak ipar saya (dan saudaranya- 3 orang) dalang semua. Lalu anaknya (keponakanku) juga dalang lulusan STSI Sala. Jadi aku sangat familiar dengan pertunjukan wayang. Dan kebetulan aku betah semalaman nonton wayang. Ada kenisbian rasa yang aneh dan tidak bisa terwakili saat menikmati suasana pertunjukan wayang. Tapi secara mendalam filosofinya baru aku tahu dari postingan mas Sabdalangit ini. Terima kasih tambahan pengetahuannya.

  6. Weleh weleeeh Mas Sumego teh ti Bandungnya ti Cikutra hehehe caket atuh sareng abdinya, mudah mudahan bisa bertemu ya mas Sumego supaya saya dapat belajar banyak ni mas sama sampeyan, siapa tahu Kang Mas Sabda Langit bisa ke Bandung wah wah wah senang sekali hati ini rasanya Kang Mas, di antos pisannya di gubug reyot abdi Kang Mas Sabda Langit, hehehe Mas Sumego abdi di Kir Con mas upami aya waktos mangga atuh ameng ka rorompok abdi hehehe
    Salam Chayank dan Rindu
    Adhimas botol kosong

  7. @Mas8nur Yth
    Ironinya generasi sekarang umumnya klo kita dengerin wayang ato liat wayang dan kebudayaan sejenis disebut ndeso kuno buhun nggak gaul etc…..kalah sama “wayang” versi Holywood Bolywood by Steven Spielberg etc. Perubahan zaman nggak bisa dipungkiri ada dampak positif negatif didalam perkembangannya. Dan klo nggak ada orang2 spt Mas SabdaLangit dan kalangan budayawan lain lha nggih sinten malih….

    Klo boleh berimajinasi, Siapa yang menang ya… Gatotkaca melawan superman? Lucuan mana ya…Bagong Petruk sama Jim Kery, Edy murphy Cantikan Mana ya…Srikandi sama Jennifer Lopez? Hayoooo..

    @KangbBoed yth
    E alah aku duwe tonggo cedak kok yo… ora ngerti soale yen moco “geguritane” marai ngalamun disik dadi yo ra pati nyepadakno Nyuwun Sewu lhe Mas @KangBoed Email kulo nggih mas Sumego@Gmail.com diantos pisan kali aja ada “bisnisan” yg nyambung…..

  8. Pamuji Rahayu

    Mas sabda, kulo nderek ngopy bab wayang meniko njih.. untuk nambah wawasan.. dan ternyata dibalik pagelaran wayang ini…… memang luar biasa leluhur kita dulu.

    Salah satu budaya jawa yang hingga saat ini masih exist adalah pagelaran wayang kulit, buktinya tadi malam di kota balikpapan ada yang nanggap wayang kulit dgn dalangnya dari banyumas dan seminggu sebelumnya juga ada pagelaran wayang kulit dgn dalangnya dari sala.

    Matur Nuwun dan salam sejati,
    Agung

  9. Kepada Ki Sabda Ingkang waskita,
    10 tahun yang lalu , tahun 1999 saya mendirikan Grup kethoprak metaraman. Kebetulan personilnya adalah anak2 muda yang sudah putus sekolah maupun yang masih duduk dibangku SMA.Hingga suatu saat dalam rangka memeriahkan hari kemerdekaan indonesia, kami di perkenankan tampil diBalai desa.Memang disaat saat latihan saya sudah dikomplin oleh salah seorang perangkat desa kami, karena dalam kisah itu sang Raja tewas akibat serangan pemberontak. Kata beliau sangat tabu melakonkan kethoprak di tempat saya sampai seorang raja meninggal. Namun saya kekeh untuk mempertahankan cerita yang saya karang tersebut, dengan berbagai argumen saya membantah bahwa bila alur cerita tersebut dirubah sedikit saja tentu akan merusak jalannya cerita. Al hasil bapak perangkatpun mengalah sama saya.
    Malam sabtu, tanggal 22 agustus 2009 jam 09.30 pentas dimulai,Malam itu judulnya Senopati Honggo Joyo, saya sendiri memerankan kepala perampok yang menjadi sroyo kaum pemberontak.Alhamdulillah pertunjukan malam itu berjalan lancar sampai selesai dan penonton sungguh di luar dugaan saya, seluruh halaman balai desa tumpah ruah menjadi lautan manusia, dan saya sendiri ketika berada di atas panggung kadang mencuri2 pandang kearah penonton, memang ada yang aneh, entah itu halusinasi saya atau bukan, disalah satu sudut lapangan ada sekelompok penonton yang berpakaian serba hitam dan anehnya mereka hanya menonton tanpa ada reaksi seperti para penonton pada umumnya.Hingga selesai pertunjukan keanehanpun terjadi, ada beberapa temen yang kehilangan ingatan, mereka berceloteh ngawur kesana kemari, bahkan seolah olah mereka masih merasa jadi tokoh yang mereka mainkan dalam pentas. Namun saya tidak kuatir karena mereka tidak mengamuk hanya ngoceh tidak karuhan dan akhirnya merekapun jatuh lemas dan tertidur.
    Terlepas dari kejadian di atas, mungkin khususon mas sabda atau para pembaca pada umumnya ada yang bisa menjawabnya, saya menerimanya dengan senang hati.
    1. Seminggu setelah pementasan, saya jatuh sakit, saya tiba tiba sering pingsan.di rumah sakit saya dinyatakan sehat tidak menderita penyakit apapun. Akhirnya saya dirawat oleh Pak Dhe saya yang seorang penghayat kejawen juga seorang Kyai dari daerah Prambanan.

    2. Seorang teman saya yang ikut jadi pemain juga lumpuh kakinya kira2 6 bulan lamanya, tapi sekarang sudah pulih seperti sedia kala.

    3. Adik sepupu perempuan saya yang tadinya sakit sakitan, sakitnya makin parah dan akhirnya 3 bulan kemudian tidak tertolong alias meninggal dunia.

    Yach mungkin aja diantara pembaca ada yang bisa mengetahui ada apakah dibaik ini semua, adakah hubungannya pementasan itu dengan kejadian2 tersebut.

  10. Ki Ngabehi Yth
    Saya kagum skali dgn semangat kesenian panjenengan. Nguri-uri kabudayan dan kesenian warisan leluhur. Meskipun demikian ada beberapa hal yg harus diperhatikan:
    1. Ketoprak membawa lakon atau judul, yang bukan cerita khayal, namun kisah nyata atau sejarah masa lalu. Sejarah kadang memuat kisah yg kontraversial, polemik di masa lalu, atau kisah pribadi yg tabu untuk dilakonkan di depan khalayak. Krn sama halnya membuka aib leluhur masa lalu dihadapan banyak org. Sejarah memang harus JUJUR, tetapi kejujuran harus mempertimbangkan nilai kepantasan (etika) agar mempertimbangkan timing dan tempatnya yg tepat.
    2. Kadang pula, lakon-lakon tertentu menjadi pantangan dilakonkan pada suatu wilayah tertentu krn terdapat sangkut paut yg kita tdk mengetahui dgn pasti. Artinya untuk menjalankan lakon harus melihat dan memahami betul apakah boleh dilakonkan di daerah tersebut atau tidak.
    3. Sebelum mementaskan suatu lakon seyogyanya dilakukan “nayuh” terlebih dahulu agar mengetahui secara pasti apakah suatu lakon boleh dipentaskan atau tdk.
    4. Sebelum pentas seyogyanya dilakukan “selamatan” yg diisi dgn “kulanuwun” atau permisi kpd para leluhur yg terlibat dalam lakon. Percaya atau tdk bukanlah masalah, namun bukti telah banyak terjadi. Banyak org yg pragmatis praktis dalam berfikir, segalanya supaya diserahkan pd Tuhan lantas dianggap cukup. Lalu bila terjadi sesuatu Tuhan pula yg “disalahkan”; memang semua ini sudah kehendak Tuhan”. Masak iya Tuhan demikian itu. Saya lebih suka berkata: kami yg lalai dan teledor tdk mengindahkan sopan santun, adab, dan nilai kepantasan, sekalipun pada org yg sdh meninggal kita tak boleh menyia-nyiakan, melecehkan dgn sengaja ataupun tdk. Padahal semua ini tdk berat dilaksanakan dan demi menghindari segala resiko keselamatan sekaligus demi kelancaran pentas.

    Nyuwun gunging pangapunten bilih wonten kalimat ingkang kirang prayogi njih Ki
    salam sejati
    rahayu

    • Salam buat para sesepuh…..
      saya bernama venny dg 2tmn spiritual lg mencari arti dr gendhuk pangeran eram. kiranya dr para sesepuh dan para senior ada yg berkenaan menjelaskan arti gendhuk pangeran eram. terima kasih banyak.

  11. Salam Rahayu
    menarik sekali mas Sabdalangit uraiannya, apa wayang dapat menggambarkan karakter manusia ?

  12. Mas Saputra Yth
    Bahkan wayang tdk hanya menggambarkan karakter manusia secara komplit. Di dalamnya terdapat falsafah kehidupan yg sangat tinggi. Orang modern boleh bilang, tradisi Jawa suka hal2 gaib dan mistis adalah nonsense ! Tapi menurut saya pribadi justru hal itu menunjukkan kesadaran yg tinggi sekali (very high consciousness). Yakni kesadaran batin, atau rasa sejati, kesadaran di atas jasad dan akal budi. Silahkan tunggu tgl mainnya, akan segera sy ulas di sini. 🙂
    salam sejati
    rahayu

  13. pamuji rahayu …

    para kadhang sareng kangmas Sabdalangit ingkang dahat karahayon,

    wayang juga merupakan seni tradisi dan budaya yang luhur dan meliputi dari berbagai unsur seni…., seni rupa, seni ukir, seni wirama, seni wirahsa, seni sastra, seni etika estetika.. benar benar punjuling seni yang ada di nusantara ini, bahkan diakui dunia sebagai puncak dari kebudayaan yang tinggi… kalo boleh kita kaji, dalami dan coba kita dengar dengan hati pagelaran wayang …wah… nyamleng anteng tekan paran saktekaning papan…

    nuwun .. rahayu

    salam sejati.

  14. satu lagi para kadhang…

    seni wiraga…, seni tari, seni strategi, seni perang, seni beladiri… wah banyak lagi.. mungkin 21 in 0ne,… hehe..

  15. Jadi ingat merti dusun kemaren nih mas……

    Dalangnya Pak Sutono Hadi Sugito dari Yogyakarta mementaskan ” Bima Suci ”

    Baru kali itu aku menonton wayang itupun hanya satu alasan yaitu dapat undangan ( tragis ).
    Jam sudah menunjukkan 02:00 wib, kantuk sudah menggelayut tapi maksud dari Bima Suci itu tak jua aku temukan, dasar OOT, Bodho, Telmi de el el ( ojo seneng ngino awak’e dewe = sekedar untuk koreksi diri ).

    Satu tuntunan yang aku ingat dan aku bawa sebagai oleh-2 yang disampaikan Pak Sutono Hadi Sugito yaitu gunungan yang disampaikan secara garis besar kemudian aku telaah dan hasilnya ini untuk sekedar share atau mungkin repost…hehehe ( jangan diketawain lho );

    Didalamnya ada kolah ( sucikanlah dirimu dgn airnya = niat yang suci ), ada empat macam hewan ( kuasai beringasmu, marahmu ( banteng), tangan kanan sudah memegang pisang, tangan kiri memegang kacang eeeh masih saja tidak puas dengan mengajukan kaki-2nya dasar monyet= kuasai serakahmu ), dll sehingga muncul nafsul mutma’inah burung setelah itu jalanilah setapak demi setapak (gambar tangga) kehidupan kalau mas langit bilang tapa ngeli hingga engkau layak menuju surga/ kamulyan gambar pura dalam belantara hidup ini gambar phohon

    nyuwun sepurane mas langit sudah kewanen ngatur seng ora-ora.

    Assalamu’alaikum

  16. Mas Sabda langit,

    saya pernah baca, kalau Pak Harto itu dalam memerintah negara RI pada masa orde baru menggunakan filosofi pewayangan. Hal ini bisa dibaca pada masa pergantian kepemimpinan dari Soekarno menuju Soeharto, dimana Soebandrio disebut oleh pak Harto sebagai tokoh Durna, dan pak Harto sendiri menganggap dirinya sebagai tokoh semar. Apa sampeyan tahu kunci dari ajaran kejawen ini khususnya dalam memerankan dalang dalam kehidupan pemerintahan, karena orang yang sudah tahu kunci untuk memerankan dalang bisa mengenal kehidupan lebih baik, dan bisa memerintah seperti halnya Soeharto. Soeharto dalam memerankan dalang dan tokoh semar menganut asas keseimbangan, yaitu seimbang sebagai pemimpin yang menguasai makro kosmos di bumi pertiwi ini. Sepertinya Soeharto mengerti cerita tentang pewayangan dan menggunakannya untuk menjaga kekuasaannya. Mohon tanggapannya.

    Salam,

  17. Mas Khoirul Yth
    ya, falsafah gunungan atau kayon memang demikian halnya. Namun maknanya bs mjd sangat luas jika dikaitkan dgn falsafah jagad alit dgn jagad ageng, dan sedulur kembar, serta keblat papat, lima pancer. Nansuatu waktu akan sy bahas di sini.

    @mas Hadi Yth
    Pak Harto mmg mengklaim sbg tokoh/meniru Semar. Namun apa jadinya kalau “lakon” yg tergelar adl “semar kuncung”, semar yg memotong kuncungnya.
    Pak harto kurang tepat diidiomkan sbg lurah semar. Krn perannya sbg pemimpin (sejenis prabu atau kesatria), ia bukanlah seorang penasehat spiritual, bukan pula pemomong kesatria atau salah satu diantara para punakawan.
    Kalau melihat “wayangane” P Harto adl Bethara Yamadipati.
    Salam sejati
    rahayu

  18. Filosofi hanya sekedar filosofi,kalo sekedar nyangkut dipemikiran tok jyah ga akan ada banyak gunanya,kecuali hanya untuk sekedarbahan omong2 aja,adu bener,karena belum tentu sesuai,selaras dan sesifat dengan pribadi aslinya sehingga bisa mewujud nyata dalam laku perbuatan hidup sehari-hari.Antara ide dan tindakan masih ada jarak,belum satu dan mencerminkan sebuah kepribadian.
    Padahal yg menentukan bobot dari perilaku serta perbuatan seseorang itu yah pribadinya yg mangejawentah dalam laku perbuatan,bukan falsafah2 pemikirannya.

    Kekayon itu bisadibilang juga kehidupan,atau Hidup,karenanya sebelum dimulai pagelaran wayang,kayon di gerakkan dan digetarkan oleh sang dalang kesana kemari meliputi kelir,sebagaimana halnya ketika”HIDUP” ini mulai disentuh dan dikendalikan untuk pertama kalinya dalam tangan SANG DALANG untuk memulai sebuah lakon hidup yg sejati…………….

  19. Mbah harto memang suka sekali dengan WAYANG SEMAR tapi “suka”. ga jadi jaminan bahwa seseorang itu sungguh2 bisa menghayati sifat, watak, pembawaan dan dharmanya SEMAR dalam laku perbuatan nyata.

    Wassalam

  20. Assalamu’alaikum Wr Wb,
    Mas Sabdalangit apa nama-nama tokoh wayang itu ada benar atau tidak, Terutama tokoh Semar apa benar ada sosok semar di tanah jawa ini?
    Salam Sedjati

  21. @DjakaLinglung Yth
    Bagi sy pribadi paling tdk ada beberapa yakni : Bethara Kala, Semar (Sabdapalon Nayagenggong) dan masih ada lagi semacam enigma ttg semar hingga sekarang sy belum bisa memecahkan. Kemudian sejenis Buta, Naga Bumi, Kethek/hanoman, yg lain belum tahu.
    Rahayu

  22. coba buat film yang berdasar lakon wayang, namun dibuat dengan spesial efek yang bagus. seperti film-film hollywood.

  23. beginilah kita hidup dan senantiasa meminta diri…

    wah ulasan yang lengkap tentang pedalangan, saya jadi banyak belajar Mas
    Mas mbok saya nyuwun pirsa tentang filosofi tembang jawa dikaitkan dengan proses hidup manusia, seperti slendro pathet manyura itu tahapan manusia yang seperti apa
    saya tunggu dengan penuh harap karena browsing kok tidak ketemu2

  24. swuh rep data pitana, hanenggih negari pundhi tha hingkang kaeka adi dasa purwa.. eka marang sawiji, adi linuwih dasa sepuluh purwa wiwitan.., sanadyan kathah titahing jawata ingkang kasangga hing pratiwi .., nanging hamung negari nuswantara.., pasir wukir loh jinawi gemah ripah karta tata lan raharja.., panjang dawa pocapane punjung luhur kawibawane.., padhang jagade dhuwur kukuse adoh kuncarane..,

    nganakake pasabinan, pategalan, ngungkurake bandaran ageng.., sakabehing narendra praja mancanegara atur bulu bhekti glondong pengareng areng.

    betapa negeri kita begitu luas luhur wibawa dan subur makmur dan serta mencapai tataran mancanegara sebagai negeri taklukan untuk memberikan upeti..,kepada nuswantara.., negeri yang dinaungi oleh Sanghyang Maha Wikan.., aman tentran bawa leksana.., manusia yang pinunjul.., terkenal kearifan dan keramahan serta harum membahana seantero jagad..,

    tapi sekarang.., kenapa nasibmu wahai negeri nuswantaraku yang tercinta.. begitu terpuruk dalam segala bidang..,

    kebudayaan dan kearifan lokal.. adalah modal utama untuk menunjang kemakmuran dan keluhuran budhi.. namun.., kemanakah kini engkau.., tak dipedulikan lagi oleh generasi penerusmu.. bahkan sampai kepada seorang pemimpin kini yang sudah tidak lagi mengenal budaya.., hanya mementingkan kebusukan kekuasaan untuk golongan dan pribadhinya..,

    betapa malang dan nestapamu kini nasibmu..
    adakah kini yang peduli kepadamu..
    budaya leluhur yang begitu luhur..
    tersisihkan dan menggelepar
    antara hidup dan mati..,

    digerus jaman penuh kepalsuan..
    kapankah kau kembali exis menerpa bangsamu..
    begitu ironis..
    duh.. Gustiii..,

    hanya kami segelintir yang akan mengangkatmu
    namun mampukah kami yang hanya sedikit ini ..
    melestarikan dan membuatmu jaya kembali…
    begitu signifikan kau mulai tersisihkan..
    hanya bias samar yang kian pudar…

    bangkitlah.. kami pewarismu tetap setia menjagamu
    hingga kau kembali berdiri tegak sebagai saka guru
    menopang segala sendi kehidupan..
    menuju kesejahteraan dan keluhuran…,

    salam sihkatresnan

    rahayu ..

  25. Yth,
    Ki Sabdalangit
    sarto poro pinisepuh/anom
    sedoyo kemawon

    Kagem sedoyo kemawon Sugeng Riyadin, mboten nopo2 nggih telat daripada gak bigitulah kira2 pembelaan atas keterlambatan ini.
    Kisabdalangit saya mohon ridhonya untuk belajar dari posting2an ini agar dapat menjadi ilmu yang bermanfaat , apalagi bila Ki Sabdalangit sudi kiranya menjadikan saya sebagai murid biar mendapatkan bimbingan khusus melalui Email saya ini atau syukur2 sesekali dapat bertatap muka bila ada kesempatan. Matur sembah nuwun mugio Ki Sabda Langit sekeluargo selalu dilindungi Allah S.W.T
    =========================
    Mas Setiono Yth
    Terimakasih yg sedalam-dalamnya atas ketulusan doanya untuk saya dan keluarga. Ketulusan doa panjenengan akan kembali menjadi doa buat diri sendiri. Mohon maaf, saya ini bukanlah guru, sebab saya gemar nyantrik dimana-mana, alias menjadi murid. Saya hanya senang berbagi pengalaman saja, tanpa ada niat dan upaya menggurui siapapun. Saya hanya mewujudkan rasa syukur saya atas segala anugrah Tuhan. Namun saya ingin bersyukur tidak hanya di mulut saja, melainkan bersyukur melalui perbuatan konkrit. Silahkan via email mas, email saya ada di : “media tanya jawab”.

    Rahayu

  26. jagat agung nayoan

    nderek nyinau wayang ms ….

  27. maaf buat mbah rahayu…. meneruskan pertanyaan saya yg terdahulu ttg gendhuk pangeran eram.. saya dg 2 tmn spritual yg jua lg belajar ttg kejawen…sesungguhny kami bertiga terpisah jarak dan pulau. saya sendiri di riau daratan, yg satu ad di kisaran dan yg lain ad di jogja. saat kami lg mencari arti gendhuk pangeran eram, tmn kami yg ad di kisaran selama 1hari penuh tdk bisa nyebut ataupun mengeluarkan kata Aku. bs minta petunjuk mbak rahayu. krn sejak nama ini menjadi pr buat kami bertiga. saya sendiri mrasa ada perubahan di dalam diri sendiri maupun tmn2 spiritual. apakah gendhuk pangeran eram tu nama seorng pangeran dg kisah nyata ataukah ia ad cerita legenda maupun mistos lain yg punya arti untuk dipelajari berhubungn dg sifat2 manusia. mohon petunjuk mbak rahayu….hatur nuwun.

  28. Nderek ngangsu Mas salam dumateng kadang sedoyo.Rahayu.

  29. Ayu wajahnya namun tabiatnya cuma sekotar babi ? artinya apaan?

Tinggalkan Balasan ke hadi wirojati Batalkan balasan