Arsip Blog

Selamat Datang Sura Binuka

Bulan Sura kali ini adalah Sura Binuka jatuh pada 1 Sura hari Kemis Pon tahun 1954 tahun Jimakir. Kamis Pon mempunyai jumlah neptu 15 dalam hitungan Saptawara (jumlah hari berdasarkan sistem penanggalan Masehi) dan Pancawara (jumlah hari dalam penanggalan Jawa) maka hitungannya jatuh pati. Sedangkan tahun 1954 dalam hitungan siklus windu atau 8 tahunan, jatuhnya pada tahun Jimakir atau Wasana artinya suwung (kosong). Bulan sura kali ini bertepatan juga dengan kalender Hijriyah 1 Muharam 1442 H. Biasanya sistem penanggalan Jawa terdapat selisih 1 atau 2 hari dengan sistem penanggalan Hijriyah. Namun demikian sistem kalender Jawa usianya sudah lebih tua selama 512 tahun jika dibandingkan dengan kalender Hijriyah. Artinya pada saat kalender Hijriyah mulai dibuat, saat itu sistem kalender Jawa sudah mencatat waktu selama 512 tahun.

Sura Binuka, seperti siklus bulan Sura sebelumnya, kita kenal antara lain dengan istilah Sura Duraka, Sura Moncer, Sura WIradat. Masing-masing mempunya makna secara khusus yang menggambarkan bagaimana keadaan yang akan terjadi selama kurun waktu satu tahun ke depan di mulai sejak tanggal 1 Sura. Misalnya tahun 2019 lalu, bulan Sura dimulai pada 1 September 2019 neptu Minggu Wage jumlah 9 atau jatuhnya sakit, tahun Wawu. Artinya selama setahun ke depan yang dimulai pada tanggal 1 September 2019 memasuki fase kelara-lara, banyak penyakit dan tahun wawu sendiri mempunyai karakter kering banyak debu atau banyak abu akibat dari letusan-letusan gunung api. Seperti kita sudah saksikan sendiri, memang selama fase Sura Wiradat jatuh sakit dan tahun wawu, banyak terjadi gunung api meletus disertai dengan akeh lelara atau banyak penyakit tentu saja seperti kita saksikan sendiri dengan adanya wabah penyakit.

Nah, bulan Sura yang akan datang merupakan Sura Binuka, artinya terbuka. Apanya yang terbuka ? Dalam pandangan mata batin saya, yang terbuka meliputi berbagai sektor kehidupan. Di antaranya adalah sektor ekonomi, sektor sosial dan budaya, bahkan sektor spiritual masyarakat. Itu artinya akan ada perubahan besar pada tatanan kehidupan manusia. Bukan saja terjadi pada lingkup Nusantara namun juga meliputi masyarakat seluruh dunia. Perubahan besar ini secara ekstrim dapat disebut sebagai era wolak-waliking zaman. Zaman yang akan serba terbalik. Namun demikian terbaliknya zaman ini bukan dari sesuatu yang baik menjadi kehancuran atau kejahatan. Saya melihat yang akan terjadi justru sebaliknya. Yakni fase zaman edan atau zaman kegelapan seperti yang saat ini masih berlangsung yang akan berangsur sirna. Selanjutnya akan berganti denga fase menuju pada zaman pencerahan. Kita melihat bagaimana sepak terjang zaman edan selama ini, di mana kebenaran dianggap kesesatan, kegelapan dianggap cahaya petunjuk, kencono katon wingko atau emas dianggap pecahan genteng atau sesuatu yang tidak ada harganya. Masih sebagai tanda-tanda zaman edan di mana para penjahat disangka sebagai orang suci, tuhan yang sesungguhnay dianggap berhala, sedangkan berhala justru dianggap tuhan sejati. Sumber-sumber kebenaran justru dianggap sebagai kesesatan. Tuan rumah dianggap tamu, sedangkan tamu malah menjadi penjarah tuan rumahnya. Banyak orang mengidap mental 3G (golek benere dewe, golek menange dewe, golek butuhe dewe). Banyak orang saling berebut mau menangnya sendiri, banyak orang mau benarnya sendiri, serta egoisme oportunisme menjadi prinsip dasar dalam menjali kehidupan sehari-hari. Akibatnya, suasana tatanan kehidupan manusia menjadi sangat runyam. Perang atas nama kebenaran menurut kelompok dan golongan terjadi di mana-mana, kerusakan alam begitu masif dan merajalela, kebinasaan manusia sekala besar terjadi oleh karena sebab-sebab yang sangat konyol.
Namun memasuki era Sura Binuka, artinya kekuatan alam melakukan koreksi dalam sekala besar atas kekeliruan bangsa manusia dalam memandang kehidupan ini. Sehingga Sura Binuka merupakan babak baru, dimulainya zaman pencerahan Nusantara maupun dunia. Sesuatu yang tadinya dianggap tidak mungkin terjadi, namun ternyata benar-benar terjadi. Dalam serat Jongko Joyoboyo dikiaskan dalam bentuk kalimat kumambange watu item, sileme prahu gabus.

Sura Binuka Neptu Jatuh Pati
Itulah secercah harapan yang akan dan sedang terjadi dalam tatanan kehidupan bangsa manusia, di Nusantara maupun dunia. Namun demikian, saya himbau kepada seluruh pemirsa yang budiman, yang kebetulan menonton video atau membaca konten ini jangan sampai lengah. Karena untuk mencapai fase itu, ada perjuangan berat, yang bisa diumpamakan antara hidup atau mati, mati atau mukti. Perjuangan antara hidup dan mati, antara mati atau mukti, termasuk pada saat ini warga dunia termasuk Indonesia sedang melewati masa pandemi atau pagebluk. Meskipun pagebluk kali ini tidak seganas pagebluk yang pernah terjadi melanda dunia misalnya wabah black dead, flu spanyol, yang telah membunuh antara 50 juta hingga 500 juta umat manusia penduduk planet bumi, atau pagebluk penyakit pes yang pernah terjadi di awal abad 19 melanda Nusantara. Saking ganasnya pagebluk hingga dikiaskan isuk lara sore mati, sore lara isuk mati. Namun pagebluk kali ini meskipun tidak seganas pagebluk zaman dahulu, ada hal yang tak kalah mematikan yakni matinya sektor ekonomi dunia. Sehingga dunia saat ini terancam mengalami resesi ekonomi. Selain pagebluk, kita harus mewaspadai fator gejolak alam yang sangat potensial akan terjadi mulai dari letusan gunung api, gempa bumi, banjir, angin dan lainnya. Selain resiko secara langsung, berbagai fenomena di atas juga dapat menimbulkan efek sekunder berupa penyakit, kemiskinan dan kelaparan. Ujung-ujungnya juga berupa kematian secara perlahan.
Di sini saya hanya akan menyampaikan bahwa, meskipun secercah harapan baik sudah mulai muncul, namun perjuangan belum selesai. Justru kewaspadaan harus ditingkatkan agar kita semua mampu melewati segala resiko terburuk berupa kematian seperti tersirat dalam karakter Sura Binuka tibo pati.

Bagaimana Cara Menghindari Resiko Sura Binuka Tiba Pati
Untuk meminimalisir segala resiko dan sebaliknya dapat meraih kesuksesan dan kemuliaan hidup, hendaklah kita selalu eling dan waspada. Jangan mengumbar nafsu angkara murka baik dalam bentuk tindakan maupun ucapan yang dilakukan dalam dunia nyata maupun dunia maya. Tibo pati atu jatuhnya pati atau kepati-pati artinya hidup dalam penderitaan yang berat hingga tertimpa kematian. Itu bukanlah harga mati. Saya ulangi lagi, hidup terlunta hingga kebinasaan itu bukanlah harga mati, melainkan sesuatu yang bisa kita hindari dengan cara sikap eling dan waspada. Perbanyaklah berdharma, tebarkan rasa welas asih kepada seluruh makhluk hidup, rapatkan diri Anda kepada leluhur.
Kemudian bukalah pikiran dan wawasan Anda seluas-luasnya. Bukalah mata, bukalah hati, jelajahilah ilmu pengetahuan seluas jagad raya ini agar mengetahu apa sejatinya hidup ini. Buanglah pola pikir puritan, pola pikir primordial, pola pikir yang dipenuhi fanatisme dan sentimen SARA. Karena pola pikir demikian itu hanya akan menjadi penjara yang mengurung kesadaran spiritual Anda. jika Anda terus memeliharanya, maka Anda akan menjalani hidup ini seperti di dalam goa. Anda menyangka semua yang ada di dalam goa itulah sejatinya hidup. Pada saat Anda berhasil keluar goa, betapa kagetnya menerima kenyataan bahwa sesungguhnya hidup ini jauh lebih indah dari yang anda sangka dan duga sebelumnya.

Tahun 1954 Jimakir atau Wasana (Kosong)
Untuk memaknai Bulan Sura yang jatuhnya pada siklus Windu Jimakir ini, saya melihat dari makna Jimakir itu sendiri yang artinya Wasana atau kosong. Apanya yang kosong ? Dalam padangan spiritual saya kosong ini saya artikan sebagai makna kekosongan atau suwung atau tidak ada apa-apa. Namun dalam spiritual Jawa, justru sajroning suwung itu kita dapat menemukan kesejatian hidup. Hal ini sebagaimana dalam konteks meditasi atau olah semedi cara Jawa yang berdasarkan prinsip duwe rasa ora duwe rasa duwe. Atau punya rasa, tidak punya rasa punya. Dalam makna yang lebih dalam lagi, artinya tidak berbeda dengan babahan hawa sanga, atau kosongkan sembilan lubang hawa nafsu. Kendalikan dan hanya berikan porsi yang proporsional, artinya Anda memenuhi suatu keinginan dan kebutuhan secara proporsional atau tidak berlebihan. Dalam falsafah Jawa ditamsilkan dengan kalimat “ngono yo ngono ning ojo ngono”. Jangan melebihi porsi yang seharusnya, karena justru akan menumbangkan pola keseimbangan hidup. Artinya Anda justru akan merusak tata hukum keseimbangan alam. Makan, minum, sex, hiburan lainnya jangan lah dilakukan secara berlebihan, karena akan merusak diri Anda. Seperti halnya yang terjadi dengan dunia saat ini. Kekuatan alam sedang memaksa umat manusia apapun suka bangsa dan agamanya untuk mengosongkan diri. Untuk refleksi dan evaluasi diri kekeliruan apa yang telah dilakukan selama ini. Manusia dipaksa oleh wabah, agar menyadari apa sesungguhnya ritual agama, bagaimana sesungguh berdarma atau beramal kebaikan itu dilakukan. Hanya orang-orang yang eling dan waspada, serta berhasil memahami Wasana atau kekosongan ini yang akan berhasil meminimalisir resiko Sura Binuka Tibo Pati, dan kemudian meraih anugerah yang agung.
Demikian dapat yang saya sampaikan kepada para pembaca yang budiman

Rahayu sagung titah dumadi, jaya-jaya wijayanti

Read the rest of this entry