Arsip Blog
WAHYU DEWA WISNU
Wahyu Yang Diturunkan Dewa Wisnu
“Upaya menjaga keseimbangan, kedamaian dan kesejahteraan dunia”
Hamemayu Hayuning Bawana”
WAHYU
Apa yang dimaksud dengan Wahyu? Dalam kontek kebudayaan Jawa, wahyu diartikan sebagai sebuah konsep yang mengandung pengertian suatu karunia Tuhan yang diperoleh manusia secara gaib. Wahyu juga tidak dapat dipaksakan, tetapi hanya diberikan oleh Tuhan melalui berbagai media kepada seseorang yang pinilih atau terpilih, yakni orang-orang yang memenuhi syarat dalam hal budipekerti dan perbuatannya kepada sesama manusia dan seluruh makhluk, sehingga terbuka cakra mahkotanya. Bagi yang memenuhi syarat, ia dapat menambah upaya dengan melakukan upaya dengan melakukan mesuraga dan mesu jiwa dengan jalan tirakat, bersemadi, bertapa dan berbagai jalan lain yang berkonotasi melakukan laku bathin. Tapi tidak setiap kegiatan laku bathin itu akan mendapatkan wahyu, selain atas kehendak atau anugrah Tuhan Yang Maha Esa. (Sedangkan wahyu menurut kamus Purwadarminta mempunyai pengertian suatu petunjuk Tuhan atau Ajaran Tuhan yang perwujudannya bisa dalam bentuk mimpi, ilham dan sebagainya. (Dalam dunia pewayangan, banyak lakon wayang yang berjudul wahyu, hal ini menerminkan bahwa masyarakat Jawa penggemar wayang menaruh minta yang cukup besar terhadap nilai spiritual yang terkandung dalam kisah atau lakon wayang yang akan dapat memberikan pengetahuan rohani dan spiritual serta memperluas wawasan di bidang kejiwaan Adapun beberapa lakon wayang berkaitan dengan wahyu antara lain lakon-lakon : Wahyu Purba, Wahyu Sejati, Wahyu Cakraningrat, Wahyu Senapati, Wahyu Toh Jali, Wahyu Cengkir Gading dan yang cukup dikenal adalah Wahyu Makutarama. (Disebutkan dalam Kitab Babad Tanah Jawa, bahwa turunannya Wahu digambarkan sebagai cahaya terang bagaikan bulan bisa juga berujud gumpalan cahaya atau seberkas sinar putih yang jatuh dari angkasa dan menyatu dalam tubuh seorang manusia yang sedang mesu raga dan mesu jiwa, apakah dalam bentuk semadi atau bertapa. Sedangkan dalam lakon wayang tanda-tanda akan turunnya wahyu diperoleh manusia berupa wangsit oleh seorang brahmana atau pendeta dalam pengertian ini adalah orang yang sudah bersih jiwanya melalui mimpi, wangsit yang diterima itu lalu diberitahukan kepada orang lain, dalam hal ini biasanya orang yang sedang berguru atau menuntut ilmu kepadanya, atau kepada orang lain agar bagi mereka yang ingin memperoleh Wahyu lalu melakukan tirakat Iahir bathin, apakah dengan jalan menyepi di dalam sanggar pemujaan atau bertapa di dalam hutan. Namun keputusan siapa yang akan memperoleh wahyu, sepenuhnya berada di tangan Sang Maha Pencipta. Sedangkan manusia hanya bisa sekedar berusaha.
Dalam cerita pewayangan, wahyu-wahyu itu diturunkan oleh dewa dan kebanyakan dilakukan oleh Bathara Wisnu, kecuali Wahyu Cakraningrat oleh Bathara Kamajaya dan Bathari Ratih, istrinya. Kenapa mesti sebagian besar wahyu diturunkan oleh Bathara Wisnu? Hal ini karena Bathara Wisnu merupaka dewa keabadian ini ditunjukan denga kulit tubuhnya yang berwarna hitam yang merupakan lambang keabadian atau sebagai dewa Kesejahteraan. Karena tugasnya mensejahterakan dunia, maka apabila dunia dikacaukan oleh keangkaramurkaan, maka menjadi tugas Bathara Wisnu pernah menjelma/menitis menjadi ; Matswa (ikan) untuk membunuh raksasa Hargraiwa yang mencuri kita Weda. Menjadi Narasinga (orang berkepala harimau) untuk membinasakan Prabu Hiranyakasipu, berupa Wimana (orang kerdil) untuk mengalahkan Ditya Bali. Bathara Wisnu juga menitis pada Ramaparasu untuk menumpas para gandarwa, menitis pada Arjunasasra/Arjunawijaya untuk mengalahkan Prabu Dasamuka. Menitis pada Ramawijaya untuk membinasakan Prabu Dasamuka, dan terakhir menitis pada Prabu Kresna untuk menjadi parampara/penasehat agung para Pandawa guna melenyapkan keserakahan dan kejahatan yang dilakukan oleh para Kurawa.
Sanghyang Wisnu juga pernah turun ke Arcapada menjadi raja Negara Medangpura bergelar Maharaja Suman untuk menaklukan Maharaja Balya, raja Negara Medanggora penjelmaan Bathara Kala. Menjadi raja di Negara Medangkamulan bergelar Prabu Satmata, untuk menaklukan Prabu Watugunung yang bertindak keliru dan nyasar mengawini ibunya sendiri.
Adapun wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Bathara Wisnu kepada umat di marcapada dan maknanya antara lain :
WAHYU PURBA
Kata Purba, menurut kamus Purwadarminta mempunyai arti memelihara. Wahyu Purba mempunyai pengertian, Wisnu atau kebenaran Illahi itu bersifat memelihara, Ini suatu pelajaran hidup yang mengandung ajaran bahwa di dalam kehidupan alam semesta dengan segala isinya termasuk juga manusia, semua dipelihara oleh kebenaran Illahi. Dimana kehidupan alam semesta dan manusia akan mengalami keselarasan, keselamatan, ketenteraman, kebahagiaan dan kesejahteraan apabila nilai kebenaran bisa dihayati dan ditegakkan dengan baik dan benar. (Namun kenyataannya manusia percaya bahwa hidup ini dipelihara oleh kebenaran Illahi atau kebenaran Tuhan, masih juga terdapat ketidakbenaran dan kejahatan yang dapat menimbulkan kekacauan dan mengganggu keselarasan, kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan. Semua itu terjadi sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap hukum kebenaran. (Untuk memelihara ketenteraman dan kesejahteraan dunia maka dewa Wisnu turun ke dunia menitis pada Prabu Arjunawijaya (Arjunasasrabahu) raja Negara Maespati, dan kepada Ramawijaya, raja Negara Ayodya.
WAHYU SEJATI
Sejati berarti ada, nyata, yang tunggal atau tidak dualistis. Wahyu Sejati berarti suatu kebenaran yang bersifat tunggal. Artinya bahwa kebenaran itu tidak memiliki sifat ganda atau berpasangan yang terdiri dari dua hal yang berbeda sifatnya atau berlawanan, seperti terang dengan gelap, benar dan salah, putih dan hitam atau merah, dan lain sebagainya. (Ini suatu pelajaran hidup bahwa di dalam kehidupan alam semesta dan isinya, termasuk manusia, hanya terdapat satu kebenaran, yaitu Kebenaran sejati, yaitu kebenaran Illahi. Apabila manusia hidup dalam kaidah-kaidah ajaran kebenaran yang sejati, maka kehidupan manusia akan memperoleh kedamaian, kekegotong-royongan yang dapat menumbuhkan sifat toleransi atau saling membantu dan saling menghormati. (Namun kenyataannya dalam menjalankan kehidupannya manusia masih mengulur-ulur nilai-nilai kehidupannya dengan ukuran yang tidak menentu. Kadang-kadang mengulur sesuatu dengan kebenaran Illahi, tetapi kadang-kadang mngukur suatu tindakan selaras dengan kepentingannya sendiri. Akibatnya tatanan kehidupan menjadi tidak menentu, kacau dan saling merugikan pihak lain. Timbulah kemudian sifat keserakahan dan keangkaramurkaan. (Untuk memulihkan dan memelihara keseimbangan kehidupan di dunia, maka dewa Wisnu turun ke marcapada menitis pada ramaparasu, putra Resi Jamadagni dari pertapaan Dewasana, dan kemudian menitis pada Lesmana, adik satu ayah Ramwijaya. (Wahyu sejati atau Wisnu yang menitis pada Ramaparasu adalah bertugas mengembalikan ketenteraman dunia sebagai akibat dari perbuatan keserakahan yang dilakukan oleh Raja Hehaya dengan perbuatannya merampas hak dan kemerdekaan orang lain. Raja Hehaya bukan saja telah membunuh para brahmana, termasuk Resi Jamagani ayah Ramparasu dan merampas harta miliknya, tetapi juga merampas harta rakyat. (Sedangkan Wahu Sejati yang menitis pada Lesmana merupakan pasanhan dari Wahyu Purba yang menitis pada Ramawijaya. Seperti kita ketahui antara Rama dan Lesmana sebenarnya selalu hidup berpasangan, bekerja sama membasmi segala bentuk kejahatan. Hal ini menunjukan bahwa Wahyu Purba dan Wahyu Sejati atau kebenaran Illahi yang bersifat memelihara dengan kebenaran Illahi yang bersifat tunggal, berhubungan erat sekali.
WAHYU WASESA
Wasesa berarti mempunyai kekuasaan, berkuasa, mengatur atau menguasai. Wahyu Wasesa berarti suatu kebenaran Illahi yang bersifat mengatur atau menguasai. Ini mengandung makna bahwa di dalam kehidupan alam semesta dan isinya, termasuk manusia diatur dan dilakukan oleh kekuasaan Illahi. Tegasnya satu-satunya pengatur dan pemerintah alam semesta dan isinya termasuk manusia adalah kekuasaan Tuhan. (Apabila semua manusia berpegang pada kaidah ini , maka manusia idupo tidak perlu harus merasa takut pada kekurangan, menderita, mengalami ketidak adilan, kehilangan kemerdekaan atau kebebasan. (Tetapi didalam kenyataannya sadar atau tidak sadar manusia masih percaya, bahwa hidup ini selain dikuasai oleh kebaikan atau kebenaran Illahi, masih bisa dikuasai oleh kejahatan. Bahkan kadang-kadang manusia takut dan taat kepada kejahatan daripada kebenaran illahi. (Ajaran yang terkandung dalam Wahyu Wasesam uakag syaty ajaran yang mengingatkan kepada kita semua agar bisa selalu sadar bahwa hidup ini ada yang mengatur dan menguasai. Wahyu Wasesa adalah Wisnu yang menitis kepada Sri Kresna, yang dengan kekuasaanya bertindak sebagai penjaga keseimbangan ketenteraman dan kesejahteraan dunia. Kedudukan Sri Kresna di sini hanyalah sebagai penasehat Agung pada satria penegak kebenaran yaitu para satria Pandawa.
WAHYU LUWIH ATAU LINUWIH
Menurut kamus Purwadarminta, Luwih atau linuwih mengandung arti : lebih, langkung atau pancuran. Wahyu Luwih adalah Wisnu atau kebenaran Tuhan yang bersifat memancar. Ini suatu pelajaran hidup bahwa kehidupan alam semesta berikut isinya, termasuk manusia, pada hakekatnya merupakan pancaran atau pernyataan hidup atau Tuhan sebagai sumber hidup. Seumpama air adalah sumber hidup, maka air yang mangalir dari sumber itu adalah pancarannya.(Wahyu Luwih memberi pelajaran hidup kepada kita agar disadari bahwa tujuan dan kewajiban hidup manusia di dunia adalah mencerminkan atau memancarkan sifat Khaliknya yaitu Tuhan YME. Semakin banyak manusia mencerminkan sifat Tuhan dalam hidupnya, maka akan semakin kaya manusia memiliki berkah dan kasih saying Tuhan. Antara Wahyu Wasesa dengna Wahyu Linuwih sebenarnya masih merupakan satu kesatuan, ibarat air dengan pancurannya. Ibarat Matahari, Wahyu Wasesa adalah mata harinya, sedangkan Wahyu Luwih adalah pancarannya. (Wahyu Luwih adalah ajaran Wisnu yang diterima oleh Arjuna, karena itu antara Sri Kresna dan Arjuna selalu hidup berdampingan dalam tugas kewajiban memayu hayuning bawana. Ibarat Api, Sri Kresna adalah apinya, sedangkan Arjuna merupakan cahaya terangnya.
WAHYU MURTI
Murti menurut kamus Jawa/Kawi mempunyai arti ; amor, menyatu/bersatu, gumolong, tunggil, linangkung, utuh dan semesta. Jadi Wahyu Murti mengandung arti ajaran Wisnu yang bersifat gumolong, utuh dan semesta. Ini suatu ajaran bahwa hidup alam semesta dan isinya termasuk manusia merupakan satu kesatuan yang utuh yang antara satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan. Karena yang satu merupakan bagian dari yang lain.(Karena alam dan isinya merupakan satu bagian yang utuh, maka menjadi kewajiban kita manusia untuk menjaga keseimbangan alam. Menciptakan kedamaian dan kesejahteraan, serta memelihara keselarasan.(Wahyu Murti adalah ajaran Wisnu yang diberikan kepada Gunawan Wibisana. Karena itu Gunawan Wibisana selalu berusaha untuk ikut menjaga keseimbangan dan keselarasan dunia. Berkali-kali ia memperingatkan Rahwana, kakaknya, agar mengembalikan Dewi Sinta kepada Prabu Rama demi keselamatan Negara Alengka, karena Prabu Rama sesungguhnya satria penjelmaan dewa Wisnu.(Karena Wibisana dengan Wahyu Murtinya merupakan bagian daripada Wisnu, maka ketika ia akan menduduki tahta kerajaan Alengka setelah berakhirnya perang Alengka. Prabu Rama melengkapinya dengan ajaran Hastabrata dengan tujuan agar Gunawan Wibisana menjadi seorang raja yang arif bijaksana, dicintai dan mencintai rakyatnya serta mampu menciptakan kesejahteraan, kedamaian, ketenteraman hidup bagi rakyatnya.
WAHYU MAKUTHA RAMA
Wahyu Makutha Rama pada hakekatnya merupakan inti sari dari keseluruhan wahyu yang diturunkan oleh Dewa Wisnu yang merupakan gabungan dari inti sari Wahyu Purba, Wahyu Sejati, Wahyu Wasesa, Wahyu Luwih dan Wahyu Murti. Karena itu Wahyu Makutha Rama merupakan wahyu yang terakhir dari Dewa Wisnu sebab setelah mengajarkan Wahyu Makutha Rama kepada Arjuna dalam perwujudannya sebagai Bagawan Keswasidhi di Gunung Kutarunggu, dan berakhirnya perang Bharatayuda dengan musnahnya keluarga Kurawa yang merupakan lambang angkara murka, Dewi Wisnu tidak turun lagi ke Marcapada.
TANDA-TANDA PENCAPAIAN Neng Ning Nung Nang
TANDA-TANDA PENCAPAIAN NENG, NING, NUNG, NANG
TINGKAT 1 (Neng; sembah raga)
Jumeneng; menjalankan “syariat”. Namun makna syariat di sini mempunyai dimensi luas. Yakni dimensi “vertikal” individual kepada Tuhan, maupun dimensi sosial “horisontal” kepada sesama makhluk. Neng, pada hakekatnya sebatas melatih dan membiasakan diri melakukan perbuatan yang baik dan bermanfaat untuk diri pribadi, dan lebih utama untuk sesama tanpa pilih kasih. Misalnya seseorang melaksanakan sembahyang dan manembah kepada Tuhan dengan cara sebanyak nafasnya, guna membangun sikap eling dan waspadha. Neng adalah tingkat dasar, barulah setara “sembah raga” misalnya menyucikan diri dengan air, mencuci badan dengan cara mandi, wudlu, gosok gigi, upacara jamasan, tradisi siraman dsb. Termasuk mencuci pakaian dan tempat tinggal. Orang dalam tingkat “neng”, menyebut dan “menyaksikan” Tuhan barulah melalui pernyataan dan ucapan mulut saja. Kebaikan masih dalam rangka MELATIH diri mengendalikan hawa nafsu negatif, dengan bermacam cara misalnya puasa, semadi, bertapa, mengulang-ulang menyebut nama Tuhan dll. Melatih diri mengendalikan hawa nafsu agar bersifat positif dengan cara misalnya sedekah, amal jariah, zakat, gotong royong, peduli kasih, kepedulian sosial dll. Melatih diri untuk menghargai dan mengormati leluhur, dengan cara ziarah kubur, pergi haji, mengunjungi situs-situs sejarah, belajar dan memahami sejarah, dst. Melatih diri menghargai dan menjaga alam semesta sebagai anugrah Tuhan, dengan cara upacara-upacara ritual, ruwatan bumi, larung sesaji, dst. Tahapan ini dilakukan oleh raga kita, namun BELUM TENTU melibatkan HATI dan BATIN kita secara benar dan tepat.
Kehidupan sehari-harinya dalam rangka latihan menggapai tataran lebih tinggi, artinya harus berbuat apa saja yg bukan perbuatan melawan rumus Tuhan. Tidak hanya berteori, kata kitab, kata buku, menurut pasal, menurut ayat dst. Namun berusaha dimanifestasikan dalam perilaku dan perbuatan kehidupan sehari-hari. Perbuatannya mencerminkan perilaku sipat zat (makhluk) yang selaras dengan sifat hakekat (Tuhan). Tanda pencapaiannya tampak pada SOLAH. Solah artinya perilaku atau perbuatan jasadiah yang tampak oleh mata misalnya; tidak mencelakai orang lain, perilaku dan tutur kata menentramkan, sopan dan santun, wajah ramah, ngadi busana atau cara berpakaian yang pantas dan luwes menghargai badan. Akan tetapi perilaku tersebut belum tentu dilakukan secara sinkron dengan BAWA-nya. BAWA yakni “perilaku” batiniah yang tidak tampak oleh mata secara visual.
Titik Lemah
Pada tataran awal ini meskipun seseorang seolah-olah terkesan baik namun belum menjamin pencapaian tataran spiritual yang memadai, dan belum tentu diberkahi Tuhan. Sebab seseorang melakukan kebaikan terkadang masih diselimuti rahsaning karep atau nafsu negatif; rasa ingin diakui, mendapat nama baik atau pujian. Bahkan seseorang melakukan suatu kebaikan agar kepentingan pribadinya dapat terwujud. Maka akibat yang sering timbul biasanya muncul rasa kecewa, tersinggung, marah, bila tidak diakui dan tidak mendapat pujian. Kebaikan seperti ini boleh jadi bermanfaat dan mungkin baik di mata orang lain. Akan tetapi dapat diumpamakan belum mendapat tempat di “hati” Tuhan. Kredit point nya masih nihil. Banyak orang merasa sudah berbuat baik, beramal, sodaqah, suka menolong, membantu sesama, rajin doa, sembahyang. Tetapi sering dirundung kesialan, kesulitan, tertimpa kesedihan, segala urusannya mengalami kebuntuan dan kegagalan. Lantas dengan segera menyimpulkan bahwa musibah atau bencana ini sebagai cobaan (bagi orang-orang beriman).
Pada tataran ini, seseorang masih rentan dikuasai nafsu ke-aku-an (api/nar/iblis). Diri sendiri dianggap tahu segala, merasa suci dan harus dihormati. Siapa yang berbeda pendapat dianggap sesat dan kafir. Konsekuensinya; bila memperdebatkan (kulit luarnya) ia menganggap diri paling benar dan suci, lantas muncul sikap golek benere dewe, golek menange dewe, golek butuhe dewe. Ini sebagai ciri seseorang yang belum sampai pada intisari ajaran yang dicarinya. Durung becus keselak besus !
TINGKAT 2 (Ning; sembah kalbu)
Wening atau hening; ibarat mati sajroning urip; kematian di dalam hidup. Tataran ini sepadan dengan tarekat. Menggambarkan keadaan hati yang selalu bersih dan batinnya selalu eling lan waspadha. Eling adalah sadar dan memahami akan sangkan paraning dumadi (asal usul dan tujuan manusia) yang digambarkan sebagai “kakangne mbarep adine wuragil” (lihat dalam posting; Saloka Jati). Waspadha terhadap apa saja yang dapat menjadi penghalang dalam upaya “menemukan” Tuhan (wushul). Yakni penghalang proses penyelarasan kehidupan sehari-hari (sifat zat) dengan sifat hakekat (Tuhan). Ning dicapai setelah hati dapat dilibatkan dalam menjalankan ibadah tingkat awal atau Neng; yakni hati yg ikhlas dan tulus, hati yang sudah tunduk dan patuh kepada sukma sejati yang suci dari semua nafsu negatif. Hati semacam ini tersambung dengan kesadaran batin maupun akal budi bahwa amal perbuatan bukan semata-mata mengaharap-harap upah (pahala) dan takut ancaman (neraka). Melainkan kesadaran memenuhi kodrat Tuhan, serta menjaga keharmonisan serta sinergi aura magis antara jagad kecil (diri pribadi) dan jagad besar (alam semesta). Tataran ini dicapai melalui empat macam bertapa; tapa ngeli, tapa geniara, tapa banyuara, tapa mendhem atau ngluwat.
1. Tapa ngeli; harmonisasi vertikal dan horisontal. Yakni berserah diri dan menselaraskan dengan kehendak Tuhan. Lalu mensinergikan jagad kecil (manusia) dengan jagad besar (alam semesta).
2. Tapa geniara; tidak terbakar oleh api (nar) atau nafsu negatif yakni ke-aku-an. Karena ke-aku-an itu tidak lain hakekat iblis dalam hati.
3. Tapa banyuara; mampu menyaring tutur kata orang lain, mampu mendiagnosis suatu masalah, dan tidak mudah terprovokasi orang lain. Tidak bersikap reaksioner (ora kagetan), tidak berwatak mudah terheran-heran (ora gumunan).
4. Tapa mendhem; tidak membangga-banggakan kebaikan, jasa dan amalnya sendiri. Terhadap sesama selalu rendah hati, tidak sombong dan takabur. Sadar bahwa manusia derajatnya sama di hadapan Tuhan tidak tergantung suku, ras, golongan, ajaran, bangsa maupun negaranya. Tapa mendhem juga berarti selalu mengubur semua amal kebaikannya dari ingatannya sendiri. Dengan demikian seseorang tidak suka membangkit-bangkit jasa baiknya. Kalimat pepatah Jawa sbb: tulislah kebaikan orang lain kepada Anda di atas batu, dan tulislah kebaikan Anda pada orang lain di atas tanah agar mudah terhapus dari ingatan.
Titik Lemah
Jangan lekas puas dulu bila merasa sudah sukses menjalankan tataran ini. Sebab pencapaian tataran kedua ini semakin banyak ranjau dan lobang kelemahan yang kapan saja siap memakan korban apabila kita lengah. Penekanan di sini adalah pentingnya sikap eling dan waspadha. Sebab kelemahan manusia adalah lengah, lalai, terlena, terbuai, merasa lekas puas diri. Tataran kedua ini melibatkan hati dalam melaksanakan segala kebaikan dalam perbuatan baik sehari-hari. Yakni hati harus tulus dan ikhlas. Namun..ketulusan dan keikhlasan ini seringkali masih menjadi jargon, karena mudah diucapkan oleh siapapun, sementara pelaksanaannya justru keteteran. Dalam falsafah hidup Kejawen, setiap saat orang harus selalu belajar ikhlas dan tulus setiap saat sepanjang usia. Belajar ketulusan merupakan mata pelajaran yang tak pernah usai sepanjang masa. Karena keberhasilan Anda untuk tulus ikhlas dalam tiap-tiap kasus belum tentu berhasil sama kadarnya. Keikhlasan dipengaruhi oleh pihak yang terlibat, situasi dan kondisi obyektifnya, atau situasi dan kondisi subyek mental kita saat itu.
TINGKAT 3 (Nung; sembah cipta)
Kesinungan ; yakni dipercaya Tuhan untuk mendapatkan anugrah tertentu. Orang yang telah mencapai tataran Kesinungan dialah yang mendapatkan “hadiah” atas amal kebaikan yang ia lakukan. Ini mensyaratkan amal kebaikan yang memenuhi syarat, yakni kekompakan serta sinkronisasi lahir dan batin dalam mewujudkan segala niat baik menjadi tindakan konkrit. Yakni tindakan konkrit dalam segala hal yang baik misalnya membantu & menolong sesama. Syarat utamanya; harus dilakukan terus-menerus hingga menyatu dalam prinsip hidup, dan tanpa terasa lagi menjadi kebiasaan sehari-hari.
Pencapaian tataran ini sama halnya laku hakekat. Laku hakekat adalah meliputi keadaan hati dan batin; sabar, tawakal, tulus, ikhlas, pembicaraannya menjadi kesejatian (kebenaran), yang sejati menjadi kosong, hilang lenyap menjadi ada. Tataran ini ditandai oleh pencapaian kemuliaan yang sejati, seseorang mendapatkan kebahagiaan dan kemuliaan di dunia dan kelak setelah ajal. Pada tahap ini manusia sudah mengenal akan jati dirinya dan mengenal lebih jauh sejatinya Tuhan. Manusia yang telah lebih jauh memahami Tuhan tidak akan berfikir sempit, kerdil, sombong, picik dan fanatik. Tidak munafik dan menyekutukan Tuhan. Ia justru bersikap toleran, tenggang rasa, hormat menghormati keyakinan orang lain. Sikap ini tumbuh karena kesadaran spiritual bahwa ilmu sejati, yang nyata-nyata bersumber pada Yang Maha Tunggal, hakekatnya adalah sama. Cara atau jalan mana yang ditempuh adalah persoalan teknis. Banyaknya jalan atau cara menemukan Tuhan merupakan bukti bahwa Tuhan itu Mahaluas tiada batasnya. Ibarat sungai yang ada di dunia ini jumlahnya sangat banyak dan beragam bentuknya; ada yang dangkal, ada yang dalam, berkelok, pendek dan singkat, bahkan ada yang lebar dan berputar-putar. Toh semuanya akan bermuara kepada Yang Tunggal yakni “samudra luas”.
NAH, orang seperti ini akan “menuai” amal kebaikannya. Berkat rumus Tuhan di mana kebaikan akan berbuah kebaikan pula. Kebaikan yg anda berikan, “buahnya” akan anda terima pula. Namun demikian kebaikan yang anda terima belum tentu datang dari orang yang sama, malah biasanya dari pihak lainnya. Kebaikan yang anda peroleh itu merupakan “buah” dari “pohon kebaikan” yang pernah anda tanam sebelumnya. Selebihnya, kebaikan yang anda lakukan akan menjadi pagar gaib yang selalu menyelimuti diri anda. Singkat kata, pencapaian Nung, ditandai dengan diperolehnya kemudahan dan hikmah yang baik dalam segala urusan. Pagar gaib itu akan membuat kita tidak dapat dicelakai orang lain. Sebaliknya selalu mendapatkan keberuntungan. Dalam terminologi Jawa inilah yang disebut sebagai “ngelmu beja”.
Untuk meraih tataran ini, terlebih dahulu kita harus mengenal jati diri secara benar. Dalam diri manusia setidaknya terdapat 7 lapis bumi yang harus diketahui manusia. Jika tidak diketahui maka menjadi manusia cacad dan akan gagal mencapai tataran ini. Bumi 7 lapis tersebut adalah ; retna, kalbu, jantung, budi, jinem, suksma, dan ketujuhnya yakni bumi rahmat.
1. Bumi Retna; jasad dan dada manusia sesungguhnya istana atau gedung mulia.
2. Bumi Kalbu; artinya istana iman sejati.
3. Bumi Jantung; merupakan istana semua ilmu.
4. Bumi budi; artinya istana puji dan zikir.
5. Bumi Jinem; istananya kasih sayang sejati.
6. Bumi suksma; yakni istana kesabaran dan rasa sukur kepada Tuhan; sukma sejati.
7. Bumi Rahmat; istana rasa mulia; rahsa sejati.
Titik Lemah
Nung, setara dengan Hakekat, di sini ibarat puncak kemuliaan. Semakin tinggi tataran spiritual, maka sedikit saja godaan sudah dapat menggugurkan pencapaiannya. Maka, semakin tinggi puncak dan kemuliaan seseorang ; maka semakin besar resiko tertiup angin dan jatuh. Seseorang yang merasa sudah PUAS dan BANGGA dengan pencapaian hakekat ini bersiko terlena. Lantas menganggap orang lain remeh dan rendah. Yang paling berbahaya adalah menganggap tataran ini merupakan tataran tertinggi sehingga orang tidak perlu lagi berusaha menggapai tataran yang lebih tinggi.
Tingkat 4 (Nang; sembah rahsa)
Nang merupakan kemenangan. Kemenangan adalah anugrah yang anda terima. Yakni kemenangan anda dari medan perang. Perang antara nafsu negatif dengan positif. Kemenangan NUR (cahya sejati nan suci) mengalahkan NAR (api; ke-aku-an/”iblis”). Manusia NAR adalah seteru Tuhan (iblis laknat). SEBALIKNYA; manusia NUR adalah memenuhi janji atas kesaksian yg pernah ia ucapkan di mulut dan hati. Manusia NUR memenuhi kodratnya ke dalam kodrat Ilahi, sipat zat yg mengikuti sifat hakekat, menselaraskan gelombang batin manusia dengan gelombang energi Tuhan. Sifat zat (manusia) menyatu dengan sifat hakekat (Tuhan) menjadi “loroning atunggil“. Yang menjadi jumbuh (campur tak bisa dipilah) antara kawula dengan Gusti. Inilah pertanda akan kemenangan manusia dalam “berjihad” yang sesungguhnya. Yakni kemenangan terindah dalam kemanunggalan; “manunggaling kawula-Gusti“. Bila Anda muslim, di situlah tatar makrifat dapat ditemukan.
Salam sejati
sabdalangit
SANEPAN
SANEPAN
01. Abang dluwang (putih/pucęt bangęt)
02. Abót kapúk (entheng bangęt)
03. Abót męrang sagędhęng (entheng bangęt)
04. Agal glepúng (lumer bangęt)
05. Aji gódhóng garíng (ora ĺnĺ ajiné)
06. Amba gódhóng kélór (ciyút bangęt)
06. Antęng kitiran (polah ora karuwan)
07. Arang kranjang (kęręp bangęt)
08. Arang wulu kucing (akeh/kerep bangęt)
09. Arúm jamban (bangęr bangęt)
10. Atós dębóg (ęmpuk bangęt)
11. Bantęr kéyong (alon bangęt)
12. Bęning lęri (buthęg bangęt)
13. Bénjo tampah (bundęr bangęt)
14. Brintík linggís (lurús/kaku bangęt)
15. Dhuwúr kęncúr (ęndhek bangęt)
16. Gędhe guręm (cilík bangęt)
17. Jęro tapak męri (cęthek bangęt)
18. Kandęl kulít bawang (tipís bangęt)
19. Kędhep tęsmak (jingglęng/męnthęlęng)
20. Kuníng silít kwali (iręng bangęt)
21. Kuru semangka (lęmu bangęt)
22. Landhęp dhęngkúl (kęthúl bangęt)
23. Lęgi bratawali (pait bangęt)
24. Lęmęs pikulan (kaku bangęt)
25. Lónjóng mimís (mlayu)(bantęr bangęt)
26. Pait madu (lęgi bangęt)
27. Pęręt bęton (lunyu bangęt)
28. Ręsík pęcęren (ręgęd bangęt)
29. Rindhík asu digitík (cępęt bangęt)
30. Suwé banyu sinaring (cępęt bangęt)
31. Suwé mijęt wóhing ranti (cępęt bangęt)