Arsip Blog

PENDAWA LIMA

 

PENDAWA LIMA

 1. PRABU YUDHISTIRA

yudhistira

PRABU YUDHISTIRA menurut cerita pedalangan Jawa adalah raja jin negara Mertani, sebuah Kerajaan Siluman yang dalam penglihatan mata biasa merupakan hutan belantara yang sangat angker. Prabu Yudhistira mempunyai dua saudara kandung masing-masing bernama ;Arya Danduwacana, yang menguasai kesatrian Jodipati dan Arya Dananjaya yang menguasai kesatrian Madukara. Prabu Yudhistira juga mempunyai dua saudara kembar lain ibu, yaitu ; Ditya Sapujagad bertempat tinggal di kesatrian Sawojajar, dan Ditya Sapulebu di kesatrian Baweratalun.Prabu Yudhistira menikah dengan Dewi Rahina, putri Prabu Kumbala, raja jin negara Madukara dengan permaisuri Dewi Sumirat. Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putri bernama Dewi Ratri, yang kemudian menjadi istri Arjuna.Ketika hutan Mertani berhasil ditaklukan keluarga Pandawa berkat daya kesaktian minyak Jayengkaton milik Arjuna pemberian Bagawan Wilwuk/Wilawuk, naga bersayap dari pertapaan Pringcendani. Prabu Yudhistira kemudian menyerahkan seluruh negara beserta istrinya kepada Puntadewa, sulung Pandawa, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti. Prabu Yudhistira kemudian menjelma atau menyatu dalam tubuh Puntadewa, hingga Puntadewa bergelar Prabu Yudhistira. Prabu Yudhistira darahnya berwarna putih melambangkan kesuciannya.

 2. BIMA atau WERKUDARA

b37_bima_indhu_solo1

Dikenal pula dengan nama; Balawa, Bratasena, Birawa, Dandunwacana, Nagata, Kusumayuda, Kowara, Kusumadilaga, Pandusiwi, Bayusuta, Sena, atau Wijasena. Bima putra kedua Prabu Pandu, raja Negara Astina dengan Dewi Kunti, putri Prabu Basukunti dengan Dewi Dayita dari negara Mandura. Bima mempunyai dua orang saudara kandung bernama: Puntadewa dan Arjuna, serta 2 orang saudara lain ibu, yaitu ; Nakula dan Sadewa. Bima memililki sifat dan perwatakan; gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur. Bima memiliki keistimewaan ahli bermain ganda dan memiliki berbagai senjata antara lain; Kuku Pancanaka, Gada Rujakpala, Alugara, Bargawa (kapak besar) dan Bargawasta, sedangkan ajian yang dimiliki adalah ; Aji Bandungbandawasa, Aji Ketuklindu dan Aji Blabakpangantol-antol. Bima juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran yaitu; Gelung Pudaksategal, Pupuk Jarot Asem, Sumping Surengpati, Kelatbahu Candrakirana, ikat pinggang Nagabanda dan Celana Cinde Udaraga. Sedangkan beberapa anugerah Dewata yang diterimanya antara lain; Kampuh atau kain Poleng Bintuluaji, Gelang Candrakirana, Kalung Nagasasra, Sumping Surengpati dan pupuk Pudak Jarot Asem. Bima tinggal di kadipaten Jodipati, wilayah negara Amarta. Bima mempunyai tiga orang isteri dan 3 orang anak, yaitu :

1. Dewi Nagagini, berputra Arya Anantareja,

2. Dewi Arimbi, berputra Raden Gatotkaca dan

3. Dewi Urangayu, berputra Arya Anantasena.

Akhir riwayat Bima diceritakan, mati sempurna (moksa) bersama ke empat saudaranya setelah akhir perang Bharatayuda.

3. ARJUNA

arjuna

Adalah putra Prabu Pandudewanata, raja negara Astinapura dengan Dewi Kunti/Dewi Prita  putri Prabu Basukunti, raja negara Mandura. Arjuna merupakan anak ke-tiga dari lima bersaudara satu ayah, yang dikenal dengan nama Pandawa. Dua saudara satu ibu adalah Puntadewa dan Bima/Werkudara.

Sedangkan dua saudara lain ibu, putra Pandu dengan Dewi Madrim adalah Nakula dan Sadewa. Arjuna seorang satria yang gemar berkelana, bertapa dan berguru menuntut ilmu. Selain menjadi murid Resi Drona di Padepokan Sukalima, ia juga menjadi murid Resi Padmanaba dari Pertapaan Untarayana. Arjuna pernah menjadi Pandita di Goa Mintaraga, bergelar Bagawan Ciptaning. Arjuna dijadikan jago kadewatan membinasakan Prabu Niwatakawaca, raja raksasa dari negara Manimantaka. Atas jasanya itu, Arjuna dinobatkan sebagai raja di Kahyangan Kaindran bergelar Prabu Karitin dan mendapat anugrah pusaka-pusaka sakti dari para dewa, antara lain ; Gendewa ( dari Bathara Indra ), Panah Ardadadali ( dari Bathara Kuwera ), Panah Cundamanik ( dari Bathara Narada ). Arjuna juga memiliki pusaka-pusaka sakti lainnya, atara lain ; Keris Kiai Kalanadah, Panah Sangkali ( dari Resi Durna ), Panah Candranila, Panah Sirsha, Keris Kiai Sarotama, Keris Kiai Baruna, Keris Pulanggeni ( diberikan pada Abimanyu ), Terompet Dewanata, Cupu berisi minyak Jayengkaton ( pemberian Bagawan Wilawuk dari pertapaan Pringcendani ) dan Kuda Ciptawilaha dengan Cambuk Kiai Pamuk. Sedangkan ajian yang dimiliki Arjuna antara lain: Panglimunan, Tunggengmaya, Sepiangin, Mayabumi, Pengasih dan Asmaragama.  Arjuna mempunyai 15 orang istri dan 14 orang anak. Adapun istri dan anak-anaknya adalah :

  1. Dewi Sumbadra , berputra Raden Abimanyu.

  2. Dewi Larasati , berputra Raden Sumitra dan Bratalaras.

  3. Dewi Srikandi

  4. Dewi Ulupi/Palupi , berputra Bambang Irawan

  5. Dewi Jimambang , berputra Kumaladewa dan Kumalasakti

  6. Dewi Ratri , berputra Bambang Wijanarka

  7. Dewi Dresanala , berputra Raden Wisanggeni

  8. Dewi Wilutama , berputra Bambang Wilugangga

  9. Dewi Manuhara , berputra Endang Pregiwa dan Endang Pregiwati

10. Dewi Supraba , berputra Raden Prabakusuma

11. Dewi Antakawulan , berputra Bambang Antakadewa

12. Dewi Maeswara

13. Dewi Retno Kasimpar

14. Dewi Juwitaningrat , berputra Bambang Sumbada

15. Dewi Dyah Sarimaya.

Arjuna juga memiliki pakaian yang melambangkan kebesaran, yaitu ; Kampuh/Kain Limarsawo, Ikat Pinggang Limarkatanggi, Gelung Minangkara, Kalung Candrakanta dan Cincin Mustika Ampal (dahulunya milik Prabu Ekalaya, raja negara Paranggelung).

Arjuna juga banyak memiliki nama dan nama julukan, antara lain ; Parta (pahlawan perang), Janaka (memiliki banyak istri), Pemadi (tampan), Dananjaya, Kumbaljali, Ciptaning Mintaraga (pendeta suci), Pandusiwi, Indratanaya (putra Bathara Indra), Jahnawi (gesit trengginas), Palguna, Danasmara ( perayu ulung ) dan Margana ( suka menolong ).

Arjuna memiliki sifat perwatakan ; Cerdik pandai, pendiam, teliti, sopan-santun, berani dan suka melindungi yang lemah.

Arjunaa memimpin Kadipaten Madukara, dalam wilayah negara Amarta. Setelah perang Bhatarayuda, Arjuna menjadi raja di Negara Banakeling, bekas kerajaan Jayadrata.

Akhir riwayat Arjuna diceritakan, ia muksa ( mati sempurna ) bersama ke-empat saudaranya yang lain. 

4. NAKULA

nakula

Nang dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Pinten (nama tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan sebagai obat) adalah putra ke-empat Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati, dari negara Mandaraka. Nakula lahir kembar bersama adiknya, Sahadewa atau Sadewa (pedalangan Jawa), Nakula juga menpunyai tiga saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna. Nakula adalah titisan Bathara Aswi, Dewa Tabib. Nakula mahir menunggang kuda dan pandai mempergunakan senjata panah dan lembing. Nakula tidak akan dapat lupa tentang segala hal yang diketahui karena ia mepunyai Aji Pranawajati pemberian Ditya Sapujagad, Senapati negara Mretani. Nakula juga mempunyai cupu berisi, “Banyu Panguripan atau Air kehidupan” (tirtamaya) pemberian Bhatara Indra. Nakula mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Nakula tinggal di kesatrian Sawojajar, wilayah negara Amarta. Nakula mempunyai dua orang isteri yaitu:

1. Dewi Sayati putri Prabu Kridakirata, raja negara Awuawulangit, dan

    memperoleh dua orang putra masing-masing bernama; Bambang

    Pramusinta dan Dewi Pramuwati.

2. Dewi Srengganawati, putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa

    yang tinggal di sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita,

    Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra/Ekapratala)

    dan memperoleh seorang putri bernama Dewi Sritanjung.

Dari perkawinan itu Nakula mendapat anugrah cupu pusaka berisi air kehidupan bernama Tirtamanik. Setelah selesai perang Bharatyuda, Nakula diangkat menjadi raja negara Mandaraka sesuai amanat Prabu Salya kakak ibunya, Dewi Madrim. Akhir riwayatnya diceritakan, Nakula mati moksa bersama keempat saudaranya.

5. SADEWA atau Sahadewa

sadewa

Dalam pedalangan Jawa disebut pula dengan nama Tangsen (buah dari tumbuh-tumbuhan yang daunnya dapat dipergunakan dan dipakai untuk obat) adalah putra ke-lima atau bungsu Prabu Pandudewanata, raja negara Astina dengan permaisuri Dewi Madrim, putri Prabu Mandrapati dengan Dewi Tejawati dari negara Mandaraka. Ia lahir kembar bersama kakanya, Nakula. Sadewa juga mempunyai tiga orang saudara satu ayah, putra Prabu Pandu dengan Dewi Kunti, dari negara Mandura, bernama; Puntadewa, Bima/Werkundara dan Arjuna. Sadewa adalah titisan Bathara Aswin, Dewa Tabib. Sadewa sangat mahir dalam ilmu kasidan (Jawa)/seorang mistikus. Mahir menunggang kuda dan mahir menggunakan senjata panah dan lembing. Selain sangat sakti, Sadewa juga memiliki Aji Purnamajati pemberian Ditya Sapulebu, Senapati negara Mretani yang berkhasiat; dapat mengerti dan mengingat dengan jelas pada semua peristiwa. Sadewa mempunyai watak jujur, setia, taat, belas kasih, tahu membalas guna dan dapat menyimpan rahasia. Sadewa tinggal di kesatrian Bawenatalun/Bumiretawu, wilayah negara Amarta. Sadewa menikah dengan Dewi Srengginiwati, adik Dewi Srengganawati (Isteri Nakula), putri Resi Badawanganala, kura-kura raksasa yang tinggal di sungai/narmada Wailu (menurut Purwacarita, Badawanangala dikenal sebagai raja negara Gisiksamodra/Ekapratala). Dari perkawinan tersebut ia memperoleh seorang putra bernama Bambang Widapaksa/ Sidapaksa). Setelah selesai perang Bharatayuda, Sedewa menjadi patih negara Astina mendampingi Prabu Kalimataya/Prabu Yudhistrira. Akhir riwayatnya di ceritakan, Sahadewa mati moksa bersama ke empat saudaranya.

 

WAYANG; Upaya Nenek Moyang Menggapai Kesadaran Rahsa Sejati

WAYANG

KARYA ASLI LELUHUR BANGSA

Sebagai Falsafah “Gumêlaring-Bawáná”

Wayang yang dikenal oleh masyarakat Jawa, memiliki beberapa jenis antara lain Wayang Kulit atau Wayang Purwa terbuat dari kulit kerbau, Wayang Klithik bentuknya pipih terbuat dari kayu, Wayang Golek terbuat dari bahan dasar kayu, kain dll, dan Wayang Orang bahan bakunya paling aneh, namun sungguh kenyataan, benar-benar terbuat dari manusia hidup-hidup L hii..!!

Dalam bahasa Jawa, kata wayang berarti “bayangan”. Ditinjau dari perspektif filosofi wayang dapat diartikan sebagai bayangan atau cerminan seluruh sifat-sifat yang ada dalam diri manusia, seperti sifat dur angkara murka, dan segala macam sifat kebaikan (positif). Wayang digunakan sebagai instrumen untuk memperagakan suatu cerita kehidupan manusia di jagad raya, serta gambaran khayangan, atau alam gaib. Dimainkan oleh seorang dalang yang dibantu oleh tim yang terdiri penyumping atau asisten dalang, niyaga atau orang-orang penabuh gamelan dan beberapa waranggana sebagai pelantun tembang. Dalang menjalankan fungsi sentral sebagai sutradara sekaligus pelaku utama jalannya pagelaran secara keseluruhan. Dalanglah yang memimpin semua kru-nya untuk “melebur” dalam alur lakon yang disajikan. Dalam adegan yang kecil-kecilpun dan spontanitas harus ada kekompakan di antara semua kru. Seorang dalang harus menguasai berbagai macam gending atau aransemen alat musik gamelan, dan syarat mutlak bagi seorang dalang menghayati masing-masing karakter dari semua tokoh dalam pewayangan. Desain lantai yang digunakan dalam pagelaran wayang berupa garis lurus, dan dalam memainkan wayang, dalang menghadap ke arah kelir (batang pohon pisang) yang digunakan untuk menancapkan wayang secara berjajar. Jajaran wayang di bagi dua secara berhadapan, ada di sebelah kanan dan sebelah kiri dalangnya. Jajaran wayang di sebelah kiri dalang merupakan kumpulan tokoh tokoh atau satria-satria pembela kebenaran dan kebajikan, sedangkan jajaran wayang sebelah kanan adalah tokoh-tokoh angkara murka. Mengapa para kesatria pembela kebenaran letaknya di sebelah kiri dalang, hal itu tidak lain karena cara menonton wayang yang benar adalah dari balik (belakang) layar. Yang ditonton bayangannya, akan lebih terasa sangat eksotis. Walaupun demikian ketentuan ini tidak mutlak. Untuk memperagakan berbagai dekorasi dan pergantian sub-lakon atau adegan biasanya dipakai simbol berupa gunungan. Gunungan merupakan wayang berbentuk besar di bawah, bagian atasnya meruncing seperti tumpeng. Di dalam gunungan terdapat berbagai macam gambar binatang, misalnya banteng, kera, ular, burung, yang berada dalam cabang-cabang pohon besar. Bahkan kadang tergambar wajah menyerupai topeng raksasa. Gunungan sebagai simbol dari wilayah, atau keadaan alam semesta beserta isinya. Pertunjukan wayang lazimnya dilakukan pada waktu malam hari, namun bisa juga dilakukan pada siang hari, bahkan sehari semalam. Lama pagelaran wayang untuk satu lakon cerita biasanya sekitar 7 sampai 8 jam. Dimulai dari jam 21.00 hingga subuh jam 05.00. Instrumen musik gamelan yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang secara lengkap terdiri dari dua kelompok rangkaian gamelan yakni pelog dan slendro. Namun bila ingin digunakan rangkaian gamelan yang sederhana digunakanlah jenis slendro saja. Selain waranggana atau beberapa vokalis putri yang mengiringi dalang, masih ada vokalis pria yang disebut penggerong atau wiraswara, yang terdiri empat hingga enam orang. Wiraswara bertugas mengiringi waranggana dengan suara koor terkadang sahut-sahutan. Wiraswara bisa disediakan khusus, atau bisa juga dirangkap oleh niyaga atau penabuh gamelan sekaligus menjadi penggerong.

Wirayat Gaib dalam Penentuan Lakon

Dalam menentukan lakon untuk pagelaran wayang, seorang dalang tidak bisa sekehendaknya sendiri dalam menentukan lakon apa yang akan dibawakannya. Ia ditentukan oleh beberapa faktor.

Di antaranya adalah sbb:

1. jenis wayang yang dipergunakan sebagai alat peragaan.

2. kepercayaan masyarakat sekitarnya.

3. keperluan diadakannya pertunjukan tersebut.

Khusus untuk acara-acara tertentu, terkadang seorang penanggap wayang minta supaya dalang agar mencarikan judul atau lakon sesuai wangsit yang ia terima. Wangsit akan diperoleh ki dalang bilamana telah dilakukan kegiatan “nayuh” atau maneges kepada Gusti Ingkang Akarya jagad akan jawaban suatu hal. Lakon yang didapat oleh seorang dalang melalui wangsit biasanya dianggap sebagai bentuk jawaban atau gambaran akan suatu hal. Dapat berupa gambaran deskripsi masa kini, maupun gambaran futuristis. Pada zaman dahulu hingga sebagian besar dalang masa kini, salah satu syarat untuk menjadi dalang diharuskan seseorang memiliki spiritualitas relatif tinggi. Bahkan sudah bukan rahasia lagi, masyarakat sering mengukur tingkat “kesaktian” (spiritualitas) seorang dalang bilamana ia sudah mampu membawakan lakon Brantayudha. Selain parameter itu, seorang dalang akan disegani bila ia mampu (kuat) melakukan pagelaran wayang untuk acara “ruwat bumi”. Biasanya dalang ruwat bumi dimiliki atau menjadi lengganan pihak kraton, sebut saja misalnya dalang pujaan Gus Dur dan langganan UGM, yakni Ki Timbul Cermamenggala dari Bantul Yogyakarta. Beliau sering disebut-sebut pula sebagai dalang kraton, karena pernah beberapa kali melakukan ruwatan bumi Yogya-Sala atas permintaan dari kraton Yogyakarta.

Jenis wayang akan mempengaruhi lakon yang bisa digelar. Seperangkat wayang purwa misalnya hanya dapat dipakai untuk memainkan ceritera-ceritera dari Mahabarata atau Ramayana. Wayang kulit tidak bisa di pakai untuk menampilkan babad Menak. Sebaliknya perangkat wayang golek tidak dapat digunakan untuk melakonkan Mahabarata, sebab para tokoh yang ada dalam jenis wayang tersebut sudah dibuat untuk pementasan lakon-lakon tertentu.

Terutama dalam masyarakat Jawa yang masih patuh pada tradisi dan adat istiadat peninggalan para leluhurnya, banyak dijumpai pantangan-pantangan atas suatu lakon tertentu untuk pertunjukan wayang. Misalnya beranggapan bahwa lakon Bharatayuda atau Brantayudha tabu untuk dipentaskan dalam upacara perayaan perkawinan. Atau seorang secara pribadi berani menanggap wayang dengan lakon Brantayudha, akan berat akibatnya di kemudian hari, bisa berupa keterpurukan ekonomi, kesehatan atau keselamatannya. Maka orang tidak berani melanggar pantangan ini, karena percaya bahwa keluarganya akan mengalami kesusahan di kemudian hari. Entah akan ada anggota keluarga yang meninggal, akan terjadi perceraian dalam keluarga tersebut, atau malapetaka lainnya. Di daerah-daerah pedesaan juga masih banyak kita jumpai upacara-upacara adat yang diselenggarakan dengan pertunjukan wayang. Untuk suatu acara tertentu, lakon wayang yang dipentaskan harus disesuaikan pula. Pada upacara bersih desa, yaitu selamatan sesudah panen, lakon yang harus dipertunjukkan misalnya Kondure Dewi Sri atau Pulangnya Dewi Sri, sedangkan untuk upacara ruwatan lakonnya adalah Bathara Kala.

Asal-usul Wayang

Mengenai asal mula timbulnya wayang di Indonesia, terdapat berbagai pendapat dari para ahli yang dapat digunakan sebagai pedoman. Menurut kitab sejarah Jawa Kuna di perpustakaan kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, pertunjukan wayang kulit asal mulanya menggunakan peralatan sederhana, namun pakem aslinya masih regeneratif hingga sekarang, yakni dengan menggunakan wayang berbahan kulit kerbau diukir dengan tatah, menggunakan kelir, blencong, kepyak, kotak dan lain sebagainya. Menurut ahli sejarah Kraton Yogyakarta yang dikenal waskita pula, kesenian wayang sudah dapat dipastikan berasal dan merupakan hasil karya bangsa nusantara, alias Indonesia asli di buat orang-orang di Jawa. Kesenian wayang ini mulai ada sejak jauh sebelum kebudayaan Hindu datang. Kesenian wayang kulit pada mulanya merupakan salah satu bentuk upacara keagamaan Jawa Kuna, atau upacara sakral yang berhubungan dengan sistem kepercayaan waktu itu, yakni untuk menuju “Gusti Murbeng Dumadi” (Tuhan pencipta alam semesta). Upacara wayang dilakukan di malam hari oleh seorang medium yang konon disebut saman atau dilakukan sendiri oleh kepala keluarga. Lakon yang digelar mengambil cerita-cerita dari leluhur atau nenek moyang. Upacara ini dimaksudkan untuk memanggil dan berkomunikasi dengan arwah nenek moyang. Tujuannya adalah memohon pertolongan (doa) dan restunya apabila keluarga itu akan memulai suatu hajat atau tugas, demikian pula bila telah selesai menjalankan tugas tertentu yang berat. Upacara pagelaran wayang diperkirakan timbul pada jaman Neolithikum, atau pada ± tahun 1500 Sebelum Masehi. Dalam perkembangannya, upacara ini kemudian dikerjakan oleh seorang seniman wayang yang sudah profesional, yakni Dalang.

Tradisi Wayang Sebagai Cagar Kearifan Lokal

Dalam kurun waktu yang cukup lama pertunjukan wayang kemudian terus berkembang setahap demi setahap. Namun tetap mempertahankan fungsi utamanya, yakni sebagai kegiatan berhubungan dengan sistim kepercayaan dan sistem pengajaran akan falsafah nenek moyang secara turun temurun. Untuk mempertahankan kesenian asli warisan nenek-moyang nusantara, kraton Mataram Yogyakarta telah memberikan tempat hidup yang subur bagi kesenian wayang terutama wayang purwa/kulit, sebagaimana tercermin dan didirikannya sekolah dalang Habirandá pada tahun 1925 di Kraton Mataram Yogyakarta. Kini para dalang lulusan sekolah Habirandá banyak tersebar di wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sementara itu, pusat kesenian wayang orang, tetap dilestarikan di lingkup Kraton Surakarta dan wilayah sekitarnya. Pertunjukan dilakukan di gedung-gedung kesenian, dalam pertunjukan di desa-desa, serta di media elektronik. Sebagai salah satu penggemar kesenian wayang kulit, hampir setiap malam antara jam 23.00 hingga jam 03.00 terkadang jam 04.00, siaran wayang kulit melalui berbagai radio di Yogyakarta selalu setia menemani kami dalam kegiatan “metani keyboard*. Dan kelompok punakawan, Ki Lurah Semar, Nala Gareng, Petruk Kanthong Bolong, Ki Lurah Bagong selalu saja menggugah jiwa-raga ini dari rasa “kantuk” fisik dan “kantuk” batin. Nuwun Gong, Truk, Reng, Mar..!

Menurut pengamat kebudayaan Dr. A Ciptoprawiro dalam tesisnya, wayang dianggap berfungsi sebagai pagelaran kesenian yang menyajikan banyak nilai sebagai tuntunan (moral etik) dan tontonan (nilai estetik) karena konsep etika dan estetika filsafat Jawa akan mewarnai di dalamnya. Etika berkaitan dengan persoalan apa yang baik dan apa yang buruk. Pertentangan antara yang baik dan yang buruk, harus dapat diatasi dengan peningkatan kesadaran yang akan membawa manusia kepada kesempurnaan. Maka dalam pentas pagelaran kesenian wayang memperlihatkan adanya proses menuju pendewasaan jiwa. Pertentangan dan konflik yang dibangun dalam pergelaran wayang menunjukkan pergulatan nilai, yang mengemukakan hukum sebab-akibat, kodrat alam, dan kodrat Tuhan. Demikian juga dengan estetika yang mempertanyakan tentang apa yang indah dan apa yang tidak indah. Keindahan dalam filsafat Jawa akan diukur dengan realitas tertinggi. Dalam wayang dituntut harus ada semangat, grengseng dan greget, yang semua itu merupakan proyeksi dari keindahan nilai realitas tertinggi.

1. Struktur Pergelaran

Dalam pola intuisi akan memperlihatkan suatu proses evolusi kesadaran akal-budi yang lahiriah, menuju kesadaran yang tertinggi (higher counsciousness). Proyeksi nampak pada struktur aransemen yang diwakili dengan rangkaian gamelan pada slendro patet 6, patet 9, dan patet manyura memberikan gambaran adanya proses ini. Patet 6 seyogyanya menceritakan tentang persoalan-persoalan yang timbul akibat keinginan, baik yang bersifat kebendaan ataupun spiritual, dalam tataran dimensi ketiga. Patet 9, menceritakan tentang proses seorang tokoh atau ksatria untuk mendapatkan kebenaran higher reality yang akan menjadi dasar atas tindakannya dalam menyelesaikan persoalan. Patet Manyuro, atas kedewasaan jiwa yang didapatkan berkat adanya pencerahan moral (dalam patet 9) maka seorang ksatria atau tokoh tersebut melakukan tindakan atas dasar tersebut dengan cara pandang dan pengetahuan yang baru. Sikap ini dibedakan dengan sikap dan cara pandang lama yang masih dalam tataran dimensi ke III dalam patet 6. (Dr. A Ciptoprawiro, dan dalam Kitab pakem Pewayangan, pustaka kraton Yogya)

2. Garap tokoh

Seorang dalang menampilkan tokoh atau guru yang mempunyai tingkat kesadaran yang tinggi yang mempunyai pengetahuan simbolik mampu menjelaskan secara gamblang serta mengajarkannya kepada ksatria atau tokoh. Harus ada perbedaan sikap yang jelas dari ksatria dan tokoh, yang bisa ditunjukkan kepada penonton, sebelum dan sesudah mendapat pengajaran dari sang guru.

3. Garap Catur

Dalang dituntut mampu menunjukkan percakapan dialektis dalam melakonkan wayang, babak yang menampilkan dialog kritis, cerdik dan cerdas, yang bisa melahirkan pengetahuan sejati. (Kitab Pakem Pewayangan)

Dalang Legendaris dan Asalnya:

Ki Narto Sabdo asal Semarang Jateng

Ki Hadi Sugito asal Kulonprogo Yogya

Ki Gita Sewaya asal Blitar jatim

Ki Gondo Buwono asal Madiun

Ki Anom Suroto asal Solo jateng

Ki Panut Darmoko asal Nganjuk Jatim

Ki Manteb Sudarsono asal Karanganyar Solo

Ki Timbul Cermomenggolo asal Bantul Yogyakarta

Ki Murdi Kandhamurdiyat asal Tulungagung Jatim

Ki Pringga Darsono asal Sragen

Ki Rusman S Hadikusumo asal Semarang

Ki Sunaryo asal Surabaya

Ki Asep Sunandar S asal Bandung Jabar (wayang-

golek)

Masih banyak lagi para profesional Dalang dari wilayah Banyumas, serta dalang kontemporer. Di kenal Dalang Edan, Dalang Suket, Dalang Jemblung, dan yang lain-lainnya.

Peralatan Dalam Pagelaran Wayang

Blencong : Lampu minyak kelapa untuk menerangi layar.

Dalang : Orang yang menjalankan lakon wayang.

Kelir : Gedebok pisang digunakan untuk

menancapkan wayang.

Wayang : Sejenis boneka dua dimensi yang

digerakkan oleh dalang.

Gamelan : Alat musik tradisional Jawa untuk

mengiringi pementasan.

Niyaga : Orang yang menabuh gamelan.

Lakon : Jalan cerita atau judul.

Sabetan : Gerak gerik wayang yang dijalankan

Ki Dalang.

Beber : Layar untuk menangkap bayangan wayang

dalam ajang sabetan.

Waranggana : Tim vokalis tembang dalam

pentas wayang.

Panyumping : Asisten dalang yang bertugas membantu

menyiapkan ubo rampe dan membantu

mengurutkan wayang.

Kothak/Pethi : Kotak kayu untuk menyimpan wayang

yang belum dan sudah ditampilkan.

KEDALAMAN FILSAFAT BLENCONG

Dalam falsafah Jawa sebagaimana tersurat dalam Serat Gatholoco yang kontroversial itu, namun kenyataannya sarat akan falsafah kawruh kawaskithan. Isi di dalamnya salah satunya terdapat cangkriman (tebakan) antara si manusia buruk rupa bernama Gatholoco dengan para santri di pondok Cepekan. Gatholoco merupakan figur manusia yang tak bisa diukur hanya melalui apa yang tampak oleh mata wadag saja (jalma tan kena kinira). Biarpun secara fisik sangat buruk dan baunya tak enak, namun ia memiliki filsafat hidup sangat tinggi sekali. Setidaknya hal itu mengajarkan kepada kita, jangan sampai kita gegabah menilai orang lain semata-mata dari yang tampak oleh mata, dan apa yang bisa dibaca secara verbal.

Gatholoco Bertanya

Gatholoco nulyà ngucap, dalang wayang lawan kělir, lan baléncong ngěndi kang tuwà, badéněn cangkriman iki. Yèn sirà nyàtà wasis, městhi wěruh ingkang sěpuh, Ahmad Arif ambatang kělir kang tuwà pribadi, Abdul Jabar ambatang, Ki dalang kang tuwà déwé. Abdulmanap kanthi wicak ambatang, mênàwà tuwà déwé ora liyà wayangé.

Gatholoco kemudian berkata, dalang wayang dan kelir, serta blencong mana yang paling tua, tebaklah peribahasa ini. Bila kamu memang pandai pasti mengetahui mana yang paling tua sendiri. Ahmad Arif menebak, kelir yang paling tua sendiri, menurut Abdul Jabar yang paling tua adalah dalangnya. Abdul Manap lain lagi, menebak bila yang paling tua tidak lain adalah wayangnya. Namun bagi Gatholoco kesemua jawaban tersebut belumlah tepat.

Jawaban Versi Gatholoco :

Bila menurutku, blencong lah yang paling tua sendiri. Walaupun kelir sudah dipasang, gamelan sudah siap tertata, dalang duduk siap, namun bila panggungnya masih gelap tentunya belum bisa berjalan pementasan wayangnya. Penonton pun tak bisa melihat akan warna warni rupa wayang yang perpasang di sepanjang kelir. Bila blencong sudah dinyalakan, barulah tampak berjejer wayang menancap di sepanjang kelir. Di atas di bawah, di kiri dan di kanan, tampak Pandawa dan Kurawa berjajar saling berhadapan. Dalang di bawah blencong dapat memilih wayang-wayang yang akan dilakonkan. Dalang dapat menimbang besar kecilnya wayang, memilih dan memilah dalam masing-masing kelompok. Sifat dan watak wayang digolongkan sendiri-sendiri sesuai dengan karakternya, sesuai pula dalang mengucap intonasinya. Semua itu bisa berjalan karena lampu blencong telah menerangi jagad pakeliran, dalam pagelaran lakon wayang. Oleh karena itu blenconglah yang paling tua. Begitulah jawaban Si manusia buruk rupa Gatholoco.

Makna Di Balik Ucapan Gatholoco

Agar mengetahui maksud pemikiran Gatholoco, sebelumnya marilah kita sama-sama mengupas satu-persatu makna filsafat di balik peralatan dalam pentas wayang. Bunyi gamelan, wayang yang diiringi gamelan, dalang hanya sekedar mengucap, si wayang lah yang memiliki bunyi. Kurang lebih artinya, (seolah) semua patuh pada kehendak dalangnya, berkuasa atas semua wayang dan lakon, akan tetapi jangan terkecoh, Ki Dalang hanya sekedar melakonkan wayang, alias Ki dalang hanya sekedar mengikuti alur cerita yang telah ada sebelumnya.

Perintah orang yang menanggap pagelaran wayang, disebut Gatholoco sebagai Kyai Sepi, artinya sěpi tanpà ànà, ànàné ginělar yěkti, langgeng tan owah gingsir, tanpa kurang tanpa wuwuh, tanpà rèh tanpa guna, ingkang luwih masesani, ing solahe wayang ucape Ki dalang; sepi tanpa ada, adanya tidak lain sejatinya yang telah tergelar di alam semesta, tetap abadi, tiada berkurang tiada bertambah, tanpa sebab tanpa guna, yang lebih menguasai, ada pada tingkah Ki dalang dan ucapannya.

Yang pasti menjalani yang baik dan buruk, penonton dan yang nanggap wayang, yakni disebut Kyai Urip. Bila lampu blencong sudah mati, semuanya menjadi suwung awang uwung, tiada apapun, ibarat kita belum lahir ke bumi, batin kita suwung tiada apapun.

Baiklah supaya lebih mudah dipahami filsafat di alam pemikiran si buruk rupa Gatholoco mari kita bahas satu-persatu mengenai instrumen dalam pementasan wayang sbb;

Běběr

Disebut pula layar putih tanpa noda. Merupakan gambaran mercàpàdà atau bumi ini yang sesungguhnya merupakan tempat suci. Di manapun tempat, wilayah, daerah, negara, daratan semuanya adalah tempat suci. Jika ada tempat tidak suci, atau dianggap lembah hitam atau kotor, sesungguhnya hanyalah penilaian subyektif atau sekedar manusianya yang kotor, bukan bumi tempat mereka berpijak. Layar sebagai gambaran bumi, menjadi panggung pementasan “sandiwara kehidupan” wayang.

Kělir

Kělir adalah gěděbok (batang) pohon pisang. Jika tidak dipakai lagi untuk menancapkan wayang, maka kělir akan dibuang menjadi barang busuk berbau dan tak ada gunanya, lalu kembali menjadi tanah. Kělir ibarat raga atau jasad kita yang digunakan sebagai tempat bersemayamnya sukma kita. Jasad yang digunakan sebagai media sukma agar dapat berbuat sesuatu di dalam dimensi wadag měrcapada (bumi).

Wayang

Wayang mempunyai dua dimensi, jika ditonton dengan benar seharusnya dari balik layar pementasan. Yang yampak adalah siluet bayangan hitam si wayang. Wayang adalah jiwa, atau jiwànggà, jiwà ing ànggà yakni jiwa yang manjing di raga. Sedangkan bayangan wayang di balik běběr atau layar ibaratnya “guru sejati” atau sukma sějati.

Pěthi

Kotak kayu untuk menyimpan wayang yang belum dikeluarkan atau wayang yang sudah mati. Tokoh wayang yang sudah mati, pasti meninggalkan kelirnya dan dimasukkan oleh dalang ke dalam kotak pěthi. Pethi ibaratnya liang kuburan. Jika anda serem akan liang kuburan, karena belum memahami makna liang kubur. Liang kubur sesungguhnya pintu kecil, gelap, pengap dan sempit, namun menjadi “lorong” atau pintu masuk menuju ke alam gaib para leluhur yang terang benderang dan menakjubkan (bagi yang perbuatannya pada sesama baik, bagi yang tdk baik saya nggak tahu).

Dalang

Dalang adalah orang yang hanya sekedar menjalankan cerita-cerita (lakon) wayang yang telah ada sebelumnya. Meskipun demikian, dalang harus memahami betul pakem gamelan, karakter wayang, cengkok tembang, pribadi masing-masing waranggana dan wiyaga. Dalang menjadi pembawa cerita, sekaligus pemimpin atau komando bagi seluruh tim yang bersama-sama menjalankan pementasan “sandiwara kehidupan” wayang. Kekompakan terjadi bilamana para waranggana, wiyaga, dan asisten dalang memahami secara persis bagaimana jalan cerita lakon, menghayatinya serta bagaimana keinginan-keinginan Ki Dalang selama melakonkan wayang.

Dalang ibarat pemuka agama, tokoh masyarakat, koordinator paguyuban dan perkumpulan, sesepuh desa, pemuka adat, pemimpin spiritual, yang hanya sekedar menjalankan hukum kodrat Tuhan, hukum alam, nilai-nilai tradisi dan budaya yang telah ada sebelumnya untuk mendasari lakon kehidupan di mercapada, sejak bumi ini ada. Siapapun boleh dan bisa menjadi dalang. Tidak pandang derajat, pangkat, golongan. Maknanya, setiap orang boleh dan bisa menjadi ahli spiritual, pemuka adat, tokoh masyarakat, tokoh agama, dst. Setiap manusia berhak menjadi khalifah di mercapada. Tak perlu menunggu disuruh-suruh Tuhan. Syaratnya hanyalah, memahami akan nilai kesejatian kebenaran, memiliki banyak ilmu pengetahuannya, serta mampu mengendalikan diri agar menjadi manusia yang arif, berwibawa, bijaksana, adil dan paling penting adalah bersedia berbuat kebaikan pada sesama tanpa pandang apa sukunya, apa agamanya, apa budayanya, dari mana asalnya, siapa namanya, apa jabatannya. Dalang menjadi jalma manungsa kang hambeg utama, sadrema netepi titahing Gusti. Umpama manusia-manusia suci penegak keadilan dan kebenaran di muka bumi, yang hanya menetapkan segala tindakannya sesuai lakon dalam kodrat Hyang Widhi.

Blencong

Blencong merupakan lampu penerang letaknya di depan layar, di atas Ki dalang duduk bersila. Blencong menggunakan bahan bakar minyak kelapa, sehingga nyalanya relatif lama, apinya bersih, baunya juga harum dan gurih. Filsafat blencong umpama wahyu kehidupan, atau atmà sejati yang menghidupkan segala yang hidup, cahaya blencong umpama cahyà sejati. Blencong berasal dari Hyang Widhi yang tak tergambarkan dalam pagelaran wayang. Blencong asale sàkà wahananing Gusti Kang Murbeng Dumadi. Cahaya blencong adalah cahyà sejati, yang menerangi seluruh pagelaran wayang kulit, yakni meliputi seluruh jagad gumelar. Cahyà sejati, menyinari wayang (sukmà sejati), menyinari Ki Dalang dan kelir. Blencong dan sinarnya ibarat tejà lan cahyà. Yakni umpama Bethara Nurrada dan Bethàrà Teja (Antàgà). Càhyà sejati, cahaya kehidupan merambah ke dalam badan, di luar dan di dalam, di bawah dan di atas, berasal dari Yang Maha Hidup atma sejati, wujudnya berasal dari Hyang Mahamulya. Wujudnya menjadi Wujud Yang Maha Tunggal. Ora ànà PĂRĂ Màhà Tunggal kajàbà kang NYAWIJI Màhà Tunggal.

Gatholoco Pergi meninggalkan Pertanyaan :

..Yèn wayang mari tinanggap, wayangé kalawan kêlir sinimpên sajroning kothak, baléncong pisah lan kêlir, dalang pisah lan ringgit, marang êndi paranipun, sirnaning baléncong wayang, upayanên dèn kêpanggih, yèn tan wêruh sirà urip kàyà rêcà…

Bilamana pertunjukan wayang telah usai,

wayang dan kelir disimpan dalam kotak,

blencong terpisah dengan kelir,

dalang terpisah dengan wayang,

di manakah tujuannya,

hilangnya blencong wayang,

carilah sampai ketemu,

bila tak mengerti

kamu ibarat hidup seperti arca.

Bénjang yèn sirà palastrà, uripmu ànà ing ngêndi, saikine sirà gêsang, patimu ànà ing ngêndi, uripmu bakal mati, pati nggàwà urip iku, ing ngêndi kuburirà, sirà gàwà wira-wiri, tuduhênà dunungé panggonanirà…..

Besok bila kamu mati,

hidupmu ada di mana,

sekarang ini kamu hidup,

kematianmu ada di mana,

hidupmu bakal mati,

kematian membawa kehidupan,

di mana kuburanmu,

kamu bawa kesana-kemari,

tunjukkan di manakah tempatmu.

Apa jawabannya…?

Namun hati-hatilah menjawab, karena pertanyaan Gatholoco tersebut merupakan pertanyaan mengandung dua dimensi yakni lahir dan batin. Jasad dan spirit (roh), artinya bukan sekedar pertanyaan lugas, namun lebih cenderung kiasan. Misalnya: …besok bila kamu mati. Maksudnya yang mati adalah NAFSU. Mangga, marilah kita bahas bersama…


WAHYU DEWA WISNU

Wahyu Yang Diturunkan Dewa Wisnu

“Upaya menjaga keseimbangan, kedamaian dan kesejahteraan dunia”

Hamemayu Hayuning Bawana”

           

WAHYU

Apa yang dimaksud dengan Wahyu? Dalam kontek kebudayaan Jawa, wahyu diartikan sebagai sebuah konsep yang mengandung pengertian suatu karunia Tuhan yang diperoleh manusia secara gaib. Wahyu juga tidak dapat dipaksakan, tetapi hanya diberikan oleh Tuhan melalui berbagai media kepada seseorang yang pinilih atau terpilih, yakni orang-orang yang memenuhi syarat dalam hal budipekerti dan perbuatannya kepada sesama manusia dan seluruh makhluk, sehingga terbuka cakra mahkotanya. Bagi yang memenuhi syarat, ia dapat menambah upaya dengan melakukan upaya dengan melakukan mesuraga dan mesu jiwa dengan jalan tirakat, bersemadi, bertapa dan berbagai jalan lain yang berkonotasi melakukan laku bathin. Tapi tidak setiap kegiatan laku bathin itu akan mendapatkan wahyu, selain atas kehendak atau anugrah Tuhan Yang Maha Esa. (Sedangkan wahyu menurut kamus Purwadarminta  mempunyai pengertian suatu petunjuk Tuhan atau Ajaran Tuhan yang perwujudannya bisa dalam bentuk mimpi, ilham dan sebagainya. (Dalam dunia pewayangan, banyak lakon wayang yang berjudul wahyu, hal ini menerminkan bahwa masyarakat Jawa penggemar wayang menaruh minta yang cukup besar terhadap nilai spiritual yang terkandung dalam kisah atau lakon wayang yang akan dapat memberikan pengetahuan rohani dan spiritual serta memperluas wawasan di bidang kejiwaan Adapun beberapa lakon wayang berkaitan dengan wahyu antara lain lakon-lakon : Wahyu Purba, Wahyu Sejati, Wahyu Cakraningrat, Wahyu Senapati, Wahyu Toh Jali, Wahyu Cengkir Gading dan yang cukup dikenal adalah Wahyu Makutarama. (Disebutkan dalam Kitab Babad Tanah Jawa, bahwa turunannya Wahu digambarkan sebagai cahaya terang bagaikan bulan bisa juga berujud gumpalan cahaya atau seberkas sinar putih yang jatuh dari angkasa dan menyatu dalam tubuh seorang manusia yang sedang mesu raga dan mesu jiwa, apakah dalam bentuk semadi atau bertapa. Sedangkan dalam lakon wayang tanda-tanda akan turunnya wahyu diperoleh manusia berupa wangsit oleh seorang brahmana atau pendeta dalam pengertian ini adalah orang yang sudah bersih jiwanya melalui mimpi, wangsit yang diterima itu lalu diberitahukan kepada orang lain, dalam hal ini biasanya orang yang sedang berguru atau menuntut ilmu kepadanya, atau kepada orang lain agar bagi mereka yang ingin memperoleh Wahyu lalu melakukan tirakat Iahir bathin, apakah dengan jalan menyepi di dalam sanggar pemujaan atau bertapa di dalam hutan. Namun keputusan siapa yang akan memperoleh wahyu, sepenuhnya berada di tangan Sang Maha Pencipta. Sedangkan manusia hanya bisa sekedar berusaha.

Dalam cerita pewayangan, wahyu-wahyu itu diturunkan oleh dewa dan kebanyakan dilakukan oleh Bathara Wisnu, kecuali Wahyu Cakraningrat oleh Bathara Kamajaya dan Bathari Ratih, istrinya. Kenapa mesti sebagian besar wahyu diturunkan oleh Bathara Wisnu? Hal ini karena Bathara Wisnu merupaka dewa keabadian ini ditunjukan denga kulit tubuhnya yang berwarna hitam yang merupakan lambang keabadian atau sebagai dewa Kesejahteraan. Karena tugasnya mensejahterakan dunia, maka apabila dunia dikacaukan oleh keangkaramurkaan, maka menjadi tugas Bathara Wisnu pernah menjelma/menitis menjadi ; Matswa (ikan) untuk membunuh raksasa Hargraiwa yang mencuri kita Weda. Menjadi Narasinga (orang berkepala harimau) untuk membinasakan Prabu Hiranyakasipu, berupa Wimana (orang kerdil) untuk mengalahkan Ditya Bali.  Bathara Wisnu juga menitis pada Ramaparasu untuk menumpas para gandarwa, menitis pada Arjunasasra/Arjunawijaya untuk mengalahkan Prabu Dasamuka. Menitis pada Ramawijaya untuk membinasakan Prabu Dasamuka, dan terakhir menitis pada Prabu Kresna untuk menjadi parampara/penasehat agung para Pandawa guna melenyapkan keserakahan dan kejahatan yang dilakukan oleh para Kurawa.

Sanghyang Wisnu juga pernah turun ke Arcapada menjadi raja Negara Medangpura bergelar Maharaja Suman untuk menaklukan Maharaja Balya, raja Negara Medanggora penjelmaan Bathara Kala. Menjadi raja di Negara Medangkamulan bergelar Prabu Satmata, untuk menaklukan Prabu Watugunung yang bertindak keliru dan nyasar mengawini ibunya sendiri.

Adapun wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Bathara Wisnu kepada umat di marcapada dan maknanya antara lain :

 

WAHYU PURBA

            Kata Purba, menurut kamus Purwadarminta mempunyai arti memelihara. Wahyu Purba mempunyai pengertian, Wisnu atau kebenaran Illahi itu bersifat memelihara, Ini suatu pelajaran hidup  yang mengandung ajaran bahwa di dalam kehidupan alam semesta dengan segala isinya termasuk juga manusia, semua dipelihara oleh kebenaran Illahi. Dimana kehidupan alam semesta dan manusia akan mengalami keselarasan, keselamatan, ketenteraman, kebahagiaan dan kesejahteraan apabila nilai kebenaran bisa dihayati dan ditegakkan dengan baik dan benar. (Namun kenyataannya manusia percaya bahwa hidup ini dipelihara oleh kebenaran Illahi atau kebenaran Tuhan, masih juga terdapat ketidakbenaran dan kejahatan yang dapat menimbulkan kekacauan dan mengganggu keselarasan, kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan. Semua itu terjadi sebagai akibat terjadinya pelanggaran terhadap hukum kebenaran. (Untuk memelihara ketenteraman dan kesejahteraan dunia maka dewa Wisnu turun ke dunia menitis pada Prabu Arjunawijaya (Arjunasasrabahu) raja Negara Maespati, dan kepada Ramawijaya, raja Negara Ayodya.

 

WAHYU SEJATI

            Sejati berarti ada, nyata, yang  tunggal atau tidak dualistis. Wahyu Sejati berarti suatu kebenaran yang bersifat tunggal. Artinya bahwa kebenaran itu tidak memiliki sifat ganda atau berpasangan yang terdiri dari dua hal yang berbeda sifatnya atau berlawanan, seperti terang dengan gelap, benar dan salah, putih dan hitam atau merah, dan lain sebagainya. (Ini suatu pelajaran hidup bahwa di dalam kehidupan alam semesta dan isinya, termasuk manusia, hanya terdapat satu kebenaran, yaitu Kebenaran sejati, yaitu kebenaran Illahi. Apabila manusia hidup dalam kaidah-kaidah ajaran kebenaran yang sejati, maka kehidupan manusia akan memperoleh kedamaian, kekegotong-royongan yang dapat menumbuhkan sifat toleransi atau saling membantu dan saling menghormati. (Namun kenyataannya dalam menjalankan kehidupannya manusia masih mengulur-ulur nilai-nilai kehidupannya dengan ukuran yang tidak menentu. Kadang-kadang mengulur sesuatu dengan kebenaran Illahi, tetapi kadang-kadang mngukur suatu tindakan selaras dengan kepentingannya sendiri. Akibatnya tatanan kehidupan menjadi tidak menentu, kacau dan saling merugikan pihak lain. Timbulah kemudian sifat keserakahan dan keangkaramurkaan. (Untuk memulihkan dan memelihara keseimbangan kehidupan di dunia, maka dewa Wisnu turun ke marcapada menitis pada ramaparasu, putra Resi Jamadagni dari pertapaan Dewasana, dan kemudian menitis pada Lesmana, adik satu ayah Ramwijaya. (Wahyu sejati atau Wisnu yang menitis pada Ramaparasu adalah bertugas mengembalikan ketenteraman dunia sebagai akibat dari perbuatan keserakahan yang dilakukan oleh Raja Hehaya dengan perbuatannya merampas hak dan kemerdekaan orang lain. Raja Hehaya bukan saja telah membunuh para brahmana, termasuk Resi Jamagani ayah Ramparasu dan merampas harta miliknya, tetapi juga merampas harta rakyat. (Sedangkan Wahu Sejati yang menitis pada Lesmana merupakan pasanhan dari Wahyu Purba yang menitis pada Ramawijaya. Seperti kita ketahui antara Rama dan Lesmana sebenarnya selalu hidup berpasangan, bekerja sama membasmi segala bentuk kejahatan. Hal ini menunjukan bahwa Wahyu Purba dan Wahyu Sejati atau kebenaran Illahi yang bersifat memelihara dengan kebenaran Illahi yang bersifat tunggal, berhubungan erat sekali.

 

WAHYU WASESA

            Wasesa berarti mempunyai kekuasaan, berkuasa, mengatur atau menguasai. Wahyu Wasesa berarti suatu kebenaran Illahi yang bersifat mengatur atau menguasai. Ini mengandung makna bahwa di dalam kehidupan alam semesta dan isinya, termasuk manusia diatur dan dilakukan oleh kekuasaan Illahi. Tegasnya satu-satunya pengatur dan pemerintah alam semesta dan isinya termasuk manusia adalah kekuasaan Tuhan. (Apabila semua manusia berpegang pada kaidah ini , maka manusia idupo tidak perlu harus merasa takut pada kekurangan, menderita, mengalami ketidak adilan, kehilangan kemerdekaan atau kebebasan. (Tetapi didalam kenyataannya sadar atau tidak sadar manusia masih percaya, bahwa hidup ini selain dikuasai oleh kebaikan atau kebenaran Illahi, masih bisa dikuasai oleh kejahatan. Bahkan kadang-kadang manusia takut dan taat kepada kejahatan daripada kebenaran illahi. (Ajaran yang terkandung dalam Wahyu Wasesam uakag syaty ajaran yang mengingatkan kepada kita semua agar bisa selalu sadar  bahwa hidup ini ada yang mengatur dan menguasai. Wahyu Wasesa adalah Wisnu yang menitis kepada Sri Kresna, yang dengan kekuasaanya bertindak sebagai penjaga keseimbangan ketenteraman dan kesejahteraan dunia. Kedudukan Sri Kresna di sini hanyalah sebagai penasehat Agung pada satria penegak kebenaran yaitu para satria Pandawa.

 

WAHYU LUWIH ATAU LINUWIH

            Menurut kamus Purwadarminta, Luwih atau linuwih mengandung arti : lebih, langkung atau pancuran. Wahyu Luwih adalah Wisnu atau kebenaran Tuhan yang bersifat memancar. Ini suatu pelajaran hidup bahwa kehidupan alam semesta berikut isinya, termasuk manusia, pada hakekatnya merupakan pancaran atau pernyataan hidup atau Tuhan sebagai sumber hidup. Seumpama air adalah sumber hidup, maka air yang mangalir dari sumber itu adalah pancarannya.(Wahyu Luwih memberi pelajaran hidup kepada kita agar disadari bahwa tujuan dan kewajiban hidup manusia di dunia adalah mencerminkan atau memancarkan sifat Khaliknya yaitu Tuhan YME. Semakin banyak manusia mencerminkan sifat Tuhan dalam hidupnya, maka akan semakin kaya manusia memiliki berkah dan kasih saying Tuhan. Antara Wahyu Wasesa dengna Wahyu Linuwih sebenarnya masih merupakan satu kesatuan, ibarat air dengan pancurannya. Ibarat Matahari, Wahyu Wasesa adalah mata harinya, sedangkan Wahyu Luwih adalah pancarannya. (Wahyu Luwih adalah ajaran Wisnu yang diterima oleh Arjuna, karena itu antara Sri Kresna dan Arjuna selalu hidup berdampingan dalam tugas kewajiban memayu hayuning bawana. Ibarat Api, Sri Kresna adalah apinya, sedangkan Arjuna merupakan cahaya terangnya.

 

WAHYU MURTI

            Murti menurut kamus Jawa/Kawi mempunyai arti ; amor, menyatu/bersatu, gumolong, tunggil, linangkung, utuh dan semesta. Jadi Wahyu Murti mengandung arti ajaran Wisnu yang bersifat gumolong, utuh dan semesta. Ini suatu ajaran bahwa hidup alam semesta dan isinya termasuk manusia merupakan satu kesatuan yang utuh yang antara satu dengan yang lainnya tidak bisa dipisahkan. Karena yang satu merupakan bagian dari yang lain.(Karena alam dan isinya merupakan satu bagian yang utuh, maka menjadi kewajiban kita manusia untuk menjaga keseimbangan alam. Menciptakan kedamaian dan kesejahteraan, serta memelihara keselarasan.(Wahyu Murti adalah ajaran Wisnu yang diberikan kepada Gunawan Wibisana. Karena itu Gunawan Wibisana selalu berusaha untuk ikut menjaga keseimbangan dan keselarasan dunia. Berkali-kali ia memperingatkan Rahwana, kakaknya, agar mengembalikan Dewi Sinta kepada Prabu Rama demi keselamatan Negara Alengka, karena Prabu Rama sesungguhnya satria penjelmaan dewa Wisnu.(Karena Wibisana dengan Wahyu Murtinya merupakan bagian daripada Wisnu, maka ketika ia akan menduduki tahta kerajaan Alengka setelah berakhirnya perang Alengka. Prabu Rama melengkapinya dengan ajaran Hastabrata dengan tujuan agar Gunawan Wibisana menjadi seorang raja yang arif bijaksana, dicintai dan mencintai rakyatnya serta mampu menciptakan kesejahteraan, kedamaian, ketenteraman hidup bagi rakyatnya.

 

WAHYU MAKUTHA RAMA

            Wahyu Makutha Rama pada hakekatnya merupakan inti sari dari keseluruhan wahyu yang diturunkan oleh Dewa Wisnu yang merupakan gabungan dari inti sari Wahyu Purba, Wahyu Sejati, Wahyu Wasesa, Wahyu Luwih dan Wahyu Murti. Karena itu Wahyu Makutha Rama merupakan wahyu yang terakhir dari Dewa Wisnu sebab setelah mengajarkan Wahyu Makutha Rama kepada Arjuna dalam perwujudannya sebagai Bagawan Keswasidhi di Gunung Kutarunggu, dan berakhirnya perang Bharatayuda dengan musnahnya keluarga Kurawa yang merupakan lambang angkara murka, Dewi  Wisnu tidak turun lagi ke Marcapada.